NASIKH MANSUKH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dari
awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada
pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari
segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi
setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga,
cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang
mengetahui maksudnya.
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah
yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman
pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi
interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang
yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari
undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang
harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu
ayat dengan ayat lainnya.
Dalam
ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur
historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang
cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah
yang menyangkut interpretasi itulah, kita membicarakan masalah
nasikh-mansukh.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian Nasikh dan Mansukh?
2. Apa Syarat dan Rukun Nasikh ?
3. Apa perbedaan naskh, Takhsish, dan Bada’?
4. Bagaimana cara mengetahui Nasikh dan Mansukh?
5. Apa Dasar-dasar penetapan Nasikh dan Mansukh?
6. Apa macam-macam Nasikh dalam Al-qur’an?
7. Apa Jenis-jenis Nasikh?
8. Bagaimana perbedaan ulama mengenai Nasikh dan Mansukh?
9. Apa Hikmah keberadaan Nasikh dan Mansukh?
1.3 Tujuan masalah
Makalah Ulumul Qur’an yang bertema “Nasikh-Mansukh” dibuat dengan tujuan untuk mempermudah kegiatan belajar mengajar dan memberikan kemudahan bagi mahasiswa untuk belajar, dan memahami ulumul qur’an khususnya dengan tema nasikh dan mansukh. Dan juga untuk mengetahui beberapa hal yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian Nasikh dan Mansukh.
2. Untuk mengetahui Syarat dan Rukun Nasikh .
3. Untuk mengetahui perbedaan naskh, Takhsish, dan Bada’.
4. Untuk mengetahui cara mengetahui Nasikh dan Mansukh.
5. Untuk mengetahui dasar-dasar penetapan Nasikh dan Mansukh.
6. Untuk mengetahui macam-macam Nasikh dalam Al-qur’an.
7. Untuk mengetahui Jenis-jenis Nasikh.
8. Untuk mengetahui perbedaan ulama mengenai Nasikh dan Mansukh.
9. Untuk mengetahui Hikmah keberadaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Naskh dan Mansukh
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya dikatakan: nasakhat asy-syamsu azh-zhilla,
artinya matahari menghilangkan bayang-bayang. Kata Naskh juga digunakan
untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Misalnya: nasakhtu al-kitab, artinya saya menyalin kitab. Di dalam
Al-Quran dikatakan:
$¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès?
“ Sesungguhnya kami Telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan".(al-jatsiyah:29). Maksudnya, Kami (Allah) memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran-lembaran catatan amal.
Naskh
menurut istilah ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ yang
lain. Kata Nasikh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah (Yang
menghapus hukum) seperti firman-Nya:
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä
“Dan tidaklah Kami menghapus suatu ayat....” (Al-Baqarah: 106)
Kata itu juga digunakan untuk ayat atau sesuatu yang dengannnya naskh dapat diketahui. Maka dikatakan: “hadzihi al-ayat nasikhah li ayat kadza”(ayat ini menghapus ayat itu) dan digunakan pula untuk hukum menghapuskan hukum yang lain.
Mansukh
adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan. Maka ayat mawarits
(warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah
menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat
sebagaimana akan dijelaskan.[1]
2.2 Syarat dan Rukun Naskh
Syarat naskh yaitu:
1. Hukum yang Mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khittab syar’i yang datang lebih kemudian dari khittab yang hukumnya dimanskhuh.
3. Khittab
yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan
waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir
dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan
naskh.
Makki
bin Hamusy bin Muhammad bin Mukhtar al-Qaisi Al-Muqri’ berkata: “
Segolongan ulama menegaskan bahwa khittab yang mengisyaratkan waktu dan
batas tertentu, seperti firman Allah: “ Maka maafkanlah dan biarkanlah
mereka sampai Allah mendatangkan perintah Nya “(Al-Baqarah:109), adalah
muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu, dan
sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak ada Naskh di dalamnya.”
Rukun Naskh yaitu:
1. Adat nasikh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh
itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan Diapulalah yang
menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh’anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
2.3 Perbedaan Nasikh, Takhsish, dan Bada’
Terdapat
perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al
Ashfahanidalam memandang persoalan Naskh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi
menetapkan adanya pembatalan hukum dalam al quran. Namun dengan tegas,
al Ashfahani menyatakan bahwaal quran tidak pernah disentuh "pembatalan"
meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:
1. Adanya pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang sefesifik yang datang
kemudian;
2. Adanya penjelasn susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigius;
3. Adanya penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.[2]
Ibnu
Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai Naskh,
sedangkan al Ashfahani memandangnya sebagai takhshis. Tampaknya al
Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada Naskh dalam al quran.
Kalaupun didalam al quran terdapat cakupan hukum yang bersifat umum,
untuk mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai "mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad 'amm"
Bertolak dari pengertian Naskh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
NASKH
|
TAKHSHIS
|
· Satuan yang terdapat dalam Naskh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat dalam Mansukh.
· Naskh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
· Naskh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.
· Naskh adanya menghapuskan hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
· Setelah terjadi Naskh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang tedapat dalam mansukh.
|
· Satuan yang tedapat dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafadz 'aam.
· Takhshis adalah merupakan hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil 'aam.
· Takhshis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
· Takhshis tidak menghapuskan hukum 'aam sama sekali. Hukum 'aam tetap berlaku meskipun sudah dikhushuskan.
· Setelah terjadi Takhshis, sisa satuan yang terdapat pada 'aam tetap terikat oleh dalil áam.
|
Adapun Bada', menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah Azh-Zhuhur ba'da al Khofa' ( menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah SWT. Surat al Jatsiyah,45:33 :
Artinya:
“dan
nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan
dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu
memperolok-olokkannya”.
Arti bada' yang lain adalah "nasy'ah ra'yin jaded lam yaku maujud"
(munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi
inipun tersirat dalam firman Allah SWT. Pada surat yusuf,12:35:
Artinya:
“
kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda
(kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu
waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf, Namun demikian mereka
memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah adalah Yusuf; dan
orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini).
Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya dengan hakikat Naskh. Dalam bada' ,
timbulnya hukum yang baru disebabkan oleh ketidak tahuan sang pembuat
hukum akan kemungkinan humunculnya hukum baru itu. Ini tentu berbeda
dengan Naskh, sebab dalam Naskh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah SWT. Mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada manusia.[3]
2.4. Cara mengetahui Nasikh dan Mansukh
Setelah
memahami pengertian Nasikh dan Mansukh diatas pertanyaan yang muncul
kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan
ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Nasikh dan Mansukh dapat di
ketahui dengan cara-cara sebagai berikut:
a) Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها
Hadis tersebut MeNaskh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b) Terdapat
kesepakatan umat antara ayat yang di Naskh dan ayat yang Di Mansukh.
Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui
dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang
menetapkan hal tersebut.
c) Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh
QS. Al-Mujadalah: 12 yang MeNaskh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap
rosul.
d) Urgensitas Nasikh dan Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam Terdapat alasan yang mendasar mengapa Nasikh dan Mansukh perlu di pelajari mengingat
kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :
1. Terkait status hukum Islam.
2. Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam
proses istinbath Hukum.
3. Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-Qur’an.4. Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri
5. Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad
6. Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.
2.5. Dasar-dasar penetapan Nasikh dan Mansukh
Ayat yang menjadi dasar adanya nasikh yaitu:
Artinya :
“Ayat
mana saja yang kami Naskhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(QS.Al-Baqarah:106).
Akan
tetapi manna’ Al-Qathtan menetapkan tiga dasar unsur untuk menegaskan
bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh
(dihapus). Ketiga dasar itu adalah:
1. Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-Sharih) dari nabi atau para sahabatnya,
seperti hadis: “kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa Zuruha” (Aku (dulu) melarang
kalian berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh
3. Melalui studi sejarah, mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.
2.6 Macam-macam Naskh
Naskh terbagi dalam tiga macam, yaitu:
1. Naskh
tilawah dan hukum bersama-sama. Para Ulama mendasarkan pendapat ini
pada hadits riwayat Aisyah r.a. akan tetapi, menurut yang lain hadits
ini tidak dapat dijadikan hujjah madlulnya karena dituturkan kepada
Rasul kadang-kadang Al-Quran dan kadang-kadang Hadits.
2. Naskh
Hukum bukan tilawahnya. Ayat-ayat yang dijadikan contoh antara lain
ayat tentang mendahulukan sedekah. (Q.S. Al-Mujadilah :12)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ãLäêøyf»tR tAqߧ9$# (#qãBÏds)sù tû÷üt/ ôyt óOä31uqøgwU Zps%y|¹ 4 y7Ï9ºs ×öyz ö/ä3©9 ãygôÛr&ur 4 bÎ*sù óO©9 (#rßÅgrB ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊËÈ
Ayat ini dinaskhakan ole ayat al-Mujadilah :13
÷Läêø)xÿô©r&uä br& (#qãBÏds)è? tû÷üt/ ôyt óOä31uqøgwU ;M»s%y|¹ 4 øÎ*sù óOs9 (#qè=yèøÿs? z>$s?ur ª!$# öNä3øn=tæ (#qßJÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur ©!$# ¼ã&s!qßuur 4 ª!$#ur 7Î7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÌÈ
Arti ayat pertama di naskhkan ayat yang kedua, tetapi bacaan keduanya tetap.
3. Di naskhan bacaan bukan hukumnya[4]
2.7 Jenis-jenis Naskh
Naskh ada empat bagian:
1. Naskh Al-Quran dengan Al-Quran
Bagian
ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka
yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan
sepuluh hari. Contoh firman Allah:
tûïÏ%©!$#ur cöq©ùuqtGã öNà6YÏB tbrâxtur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB Æù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ
” Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu
(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang
ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. Ayat ini dinaskh oleh:
ûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( #sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
2. Naskh Al-Quran dengan As-Sunnah
Naskh ini ada dua macam:
· Naskh
Al-Quran dengan Hadits ahad. Jumhur Ulama berpendapat, Al-Quran tidak
boleh dinaskh oleh hadits ahad, sebab Al-quran adalah mutawattir dan
menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan,
disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum dengan yang
mazhun.
· Naskh
Al-Quran dengan hadits mutawattir. Naskh semacam ini dibolehkan oleh
Malik, Abu Hanifah, Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing
keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ ¼çmuH©>tã ßÏx© 3uqà)ø9$# ÇÎÈ
“ Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.”
Dan dalam firmanNya pula:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
“
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”,
Dan naskh itu sendiri merupakan suatu penjelasan. Dalam pada itu Asy-Syafi’i,
* $tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
“
Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-quran.
3. Naskh
As-Sunnah dengan Al-Quran. Ini diperbolehkan oleh Jumhur. Sebagai
contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan oleh
As-Sunnah dan didalam Al-Quran tidak terdapat dalil yang menunjukkannya.
Ketetapan ini dnasakhkan oleh Al-Quran dengan firmanNya:
ôs% 3ttR |==s)s? y7ÎgôtôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNä3ydqã_ãr _ur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ( y7¨YuÏj9uqãYn=sù \'s#ö7Ï% $yg9|Êös? 4 ÉeAuqsù y7ygô_ur ¼çntôÜx© 3 ¨bÎ)ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# tbqßJn=÷èus9 çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷èt ÇÊÍÍÈ
“
Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh
kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
4. Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a. Naskh mutawatir dengan mutawatir
b. Naskh ahad dengan ahad
c. Naskh ahad dengan mutawatir
d. Naskh mutawatir dengan ahad
Tiga
kategori pertama dibolehkan, tetapi pada bentuk keempat terjadi silang
pendapat seperti halnya naskh Al-Quran dengan hadits ahad, yang tidak
diperbolehkan oleh jumhur ulama.[5]
2.8. Perbedaan Ulama mengenai Nasikh dan Mansukh
Berbeda
dengan mayoritas ulama yang telah disebutkan di atas, sebagian ulama
lain yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian bahwa
nasikh-mansukh antar sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi
pe-nasakh-an al-Qur’an dengan Hadis karena derajat Hadis bagaimanapun
lebih rendah dibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, di antara syarat
nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul derajatnya
daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Sedangkan menurut para pendukung nasikh-mansukh dalam al-Qur’an, dilihat dari
sisi nasikh-mansukh, surat-surat al-Qur’an dapat dibedakan kedalam
empat kelompok besar. Pertama, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di
dalamnya sama sekali tidak ada ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat
mansukhah, jumlahnya 43 surat. Kedua, kelompok surat-surat al-Qur’an
yang di dalamnya dijumpai ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah,
yang berjumlah 25 surat. Ketiga, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di
dalamnya hanya ada ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6 surat. Keempat, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.
Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an, mereka berselisih
pendapat. Ada yang mengatakan sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang
memprakirakan lebih sedikit dari itu. Setelah mencoba mengkompromikan
sejumlah ayat yang dianggap nasikh-mansukh oleh sebagian ulama,
Al-Suyuti memprediksi masih ada sekitar 20 hingga 21 ayat yang “terpaksa
harus di-nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, tetapi kemudian Syah
Waliyullah al-Dahlawi, mencoba mempertemukan ayat-ayat yang oleh
al-Suyuti di anggap nasikh-mansukh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat
saja yang dianggap belum bisa dikompromikan yakni surat al-Baqarah (2):
180 dengan an-Nisa’ (4): 11, al-Baqarah (2): 240 dengan al-Baqarah (2):
234, al-Anfal (8): 65 dengan al-Anfal (8): 66, al-Ahzab (33): 52 dengan
al-Mujadilah (58): 13.
Sehubungan
dengan itu maka kelompok ulama penolak nasikh-mansukh internal
al-Qur’an akan selalu bekerja keras untuk mengompromikan ayat-ayat yang
oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah.
Syaikh Muhammad al-Khudari misalnya, sungguhpun tidak secara ekspilisit
menolak kemungkinan ada nasikh-mansukh internal al-Qur’an telah mencoba
mengompromikan 20-21 ayat yang oleh al-Suyuti dianggap sebagai ayat-ayat
nasikhah dan mansukhah. Di antara ulama Indonesia yang secara tegas
menolak ada kemungkinan ada nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an ialah
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Menurutnya, tidak ada ayat-ayat
al-Qur’an yang di-nasakhk-an oleh ayat-ayat al-Qur’an sendiri. Yang ada
hanyalah penakwilan atau penakhsisan atau penaqyidan.
Masing-masing
pendapat di atas memiliki sejumlah argumentasi guna memperkuat
pendiriannya, baik itu berdasarkan dalil aqli atau daya nalar dan
terutama dalil naqli atau periwayatan melalui penafsiran masing-masing
terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalil naqli atau tepatnya ayat al-Qur’an
yang ditafsirkan secara kontroversial oleh mereka ialah kedua ayat di
bawah ini:
Artinya: “Apa
saja ayat yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya. Tiadakah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”
(al-Baqarah : 106).
Artinya: “Dan
apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,
mereka berkata: ‘sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja’.
Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui” (al-Nahl : 101).
Para
pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an menafsirkan kata “ayatin”
dan “ayatan” dalam kedua ayat di atas dengan pengertian ayat al-Qur’an,
sedangkan para penentang nasikh-mansukh sesama al-Qur’an menafsirkannya
dengan mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab Allah terdahulu
yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung nasikh-mansukh internal
al-Qur’an memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan sebab turunnya
ayat, sementara lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat, terutama
korelasi ayat 106 surah al-Baqarah dengan ayat yang sebelumnya yakni
ayat 105.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad kadang-kadang pada malam hari tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah turunkan
ayat 106 surah al-Baqarah tersebut sebagai jaminan bahwa wahyu Allah
tidak akan mungkin terlupakan (diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari
Ikrimah yang bersumber dari Ibn Abbas).
Menurut
al-Wahidi perihal kalam Allah dalam ayat 106 surah al-Baqarah ini, para
ahli tafsir berpendapat bahwasanya orang-orang musyrik pernah menyindir
Nabi Muhammad seraya mereka berkata dengan sesamanya: “Tidakkah kalian
perhatikan bagaimana Muhammad yang (pada suatu ketika) menyuruh
sahabat-sahabatnya supaya melakukan sesuatu, tetapi kemudian setelah itu
dia melarang mereka dari mengerjakannya dan memerintahkan mereka dengan
(pekerjaan lain) yang berbeda. Hari ini Muhammad bilang begini,
sementara besok dia bilang yang lain. Apakah (ragu) kalau kita katakan
bahwa al-Qur’an itu tidak lain dan tidak bukan, hanyalah ucapan Muhammad
yang ia karang-karang dari dirinya sendiri, yakni ucapan yang saling
bertentangan antara sebagian dengan sebagian yang lain”. Kemudian Allah
menurunkan kedua ayat tersebut.
Berlainan
dengan kelompok pertama, kelompok kedua yang mengingkari kemungkinan
adanya nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an, lebih mengacu kepada
korelasi ayat, dalam kaitan ini hubungan ayat 106 dengan ayat sebelumnya
yakni ayat 105. Ayat 105 surat al-Baqarah, pada intinya menyatakan
ketidaksenangan atau ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap penurunan
al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad. Padahal, seharusnya
orang-orang kafir itu tahu diri bahwa penurunan al-Qur’an dan
pengangkatan Nabi Muhammad itu seperti halnya penurunan kitab-kitab dan
pengangkatan nabi-nabi yang lain adalah hak prerogatif yang tidak perlu
dicampuri, apalagi diintervensi oleh siapapun.
Penafsiran
kata “ayatin” dalam al-Baqarah : 106 dan “ayatan” dalam al-Nahl : 101
oleh pendukung nasikh-mansukh, menurut hemat penulis tidaklah tepat dan
cenderung dipaksakan. Bahkan lebih dari itu, Muhammad Abduh menuduhnya
sebagai periwayatan yang didustakan. Alasannya, sabab nuzul yang dikutip
al-Suyuti tidaklah kuat. Selain redaksinya tidak tegas karena
menggunakan kata-kata “ruwiya” (diriwayatkan) serta kata-kata “dalam
suatu riwayat”, juga terutama berlawanan dengan al-Qur’an surah
al-Qiyamah: 16-18 dan surat al-A’la: 6 yang pada intinya menjamin
kekuatan ingatan atau hafalan Nabi Muhammad terhadap al-Qur’an.
Sabab
nuzul yang dikutipkan al-Wahidi, juga kurang memiliki kehujjahan yang
kuat. Selain hanya mendasarkan pendirian kepada “asumsi” para mufassir
(bukan sabab nuzul), juga karena mengesankan atau dikesankan dua ayat di
atas turun dalam waktu yang berdekatan atau malahan bersamaan. Padahal,
kedua ayat ini terdapat dalam dua surat yang berbeda, yakni surat
al-Baqarah yang tergolong ke dalam kelompok surah-surah Madaniyah,
sementara surat al-Nahl digolongkan ke dalam kelompok surah-surah
Makkiyah. Benar ilmu-ilmu al-Qur’an memberikan kemungkinan ada satu atau
beberapa ayat Makkiyah dalam surah Madaniyah atau sebaliknya; tetapi
khusus tentang kedua ayat di atas, tidak ada pendapat yang menegaskan
bahwa keduanya sama-sama tergolong ke dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah
atau ayat-ayat Madaniyah.
Masih
dalam kaitan ini, penafsiran kata ayatin atau ayatan dengan ayat
al-Qur’an dalam kedua ayat di atas, juga sama sekali tidak memiliki
argumentasi yang kuat. Terutama dari sudut pandang Ilmu Munasabah dimana
seperti telah dikemukakan di atas hubungan ayat 106 dan ayat 105 surah
al-Baqarah tampak dalam konteks eksternal antara kenabian Muhammad
berikut kitab suci al-Qur’an di satu pihak, dengan kenabian Musa dan Isa
berikut kitabnya masing-masing di lain pihak. Lagi pula kenyataan
menunjukkan bahwa tidak semua kata ayah dalam al-Qur’an selalu digunakan
dalam konteks ayat al-Qur’an, meskipun sebagian daripadanya memang ada
yang digunakan dalam pengertian ayat al-Qur’an.
Atas
dasar ini maka penafsiran kata ayah terutama yang terdapat dalam surat
al-Baqarah: 106, tidaklah salah atau bahkan lebih tepat jika ditafsirkan
dengan ayat Taurat atau Injil yang kemudian digantikan dengan ayat
al-Qur’an. Penafsiran didasarkan pada pemahaman bahwa al-Qur’an itu
meskipun secara rinci masing-masing surat dan ayatnya memiliki
keistimewaan-keistimewaan atau kelebihan-kelebihan tertentu, namun
secara umum dan keseluruhan, masing-masing surat atau ayat al-Qur’an
adalah memiliki kedudukan atau derajat yang sama.
Berbeda dengan kita memperbandingkan al-Qur’an dengan kitab-kitab Allah yang
lain terutama Taurat dan Injil. Dibandingkan dengan Taurat dan Injil,
al-Qur’an jelas lebih baik dari keduanya atau minimal sederajat dengan
keduanya. Semua itu dapat dipahami dari konteks al-Qur’an ketika
diposisikan sebagai pembenar atau korektor terhadap kitab-kitab Allah
yang sebelumnya. Penafsiran ini jelas mudah dimengerti dan mudah-mudahan
tidak salah karena, seperti disebutkan di atas, ayat ini justru turun
dalam rangka membantah keberatan orang-orang kafir dari ahlul kitab dan
orang musyrikin yang kecewa dan sekuat tenaga menolak kenabian Muhammad berikut kitab suci al-Qur’an.
Dengan
penafsiran seperti ini, mungkin akan jauh lebih bernilai guna memahami
ayat di atas, daripada harus memanfaatkan ayat ini guna membenturkan
sesama ayat al-Qur’an dengan penafsiran yang cenderung dipaksakan. Jika
orang yang memahami kata ayatin di atas dengan ayat Taurat atau ayat
Injil semata-mata penafsiran, bukankah yang menafsirkan ayat al-Qur’an
juga sama-sama penafsiran, bukan teks ayat itu sendiri yang menyatakan
ayat al-Qur’an.
2.9 Hikmah Adanya Naskh Dalam Al-Qur'an
1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala dan jika beralih ke hal yang lebih
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Nasikh
yaitu menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang
kemudian. Sedangkan mansukh yaitu hukum syara’ yang menempati posisi
awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang
datang kemudian.
Ada dua pendapat para ulama tentang teori nasikh-mansukh yaitu ada yang mendukung atau setuju dan ada yang menolak atau tidak setuju jika terdapat nasikh dan mansukh didalam al-Quran.
Hikmah Adanya Naskh Dalam Al-Qur'an
1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
kondisi umat manusia.
3. Cobaaan dan ujian bagi mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Urgensi mempelajari nasikh dan mansukh adalah untuk
mengetahui proses tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan
untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum (alasan ditetapkannya
suatu hukum) Serta untuk memelihara
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat, selain
tuntunan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi segala perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
2.10 SARAN
Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Manna’ al-qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, terjemah H.Aunur Rafiq el-Mazni, jatim: Pustaka Al-Kautsar, 2006
Rachmat syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung:Pustaka Setia, 2006
Rosihon Anwar. Ulumul Al-Quran, Bandung:Pustaka Setia, 2010
[1] Syaikh
Manna’ al-qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, terjemah H.Aunur Rafiq
el-Mazni, jatim: Pustaka Al-Kautsar, 2006 .hal.285-286
[2] Rosihon Anwar. Ulumul Al-Quran, Bandung:Pustaka Setia, 2010, hal.166
[3] Ibid,hal 167-168
[4] Rachmat syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung:Pustaka Setia, 2006, hal. 92-93
[5] Op.cit hal. 291-293
Comments
Post a Comment