HUBUNGAN AKHLAK TASAWUF DENGAN ILMU JIWA AGAMA
HUBUNGAN AKHLAK TASAWUF DENGAN ILMU JIWA AGAMA
Psikologi transpersonal
adalah istilah yang diberikan pada madzhab psikologi yang digagas oleh para
psikolog atau ilmuwan dalam bidang lainnya yang menekankan pada kemampuan dan
potensi puncak manusia yang secara sistematis tidak memiliki tempat dalam teori
postivistik atau behavioristik.
Munculnya aliran
psikologi transpersonal adalah berawal dari kesadaran para psikolog akan
problem-problem kemanusiaan yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan juga kehancuran peradaban, serta hal-hal lain yang belum terjawab
oleh aliran-aliran sebelumnya.
Kehadiran psikologi
transpersonal yang juga disebut psikologi spiritual diharapkan bisa menjadi
jembatan yang menghubungkan antara rasionalitas ilmu pengetahuan dengan
pengalaman spiritual manusia.
Dengan demikian,
spiritualitas bukan lagi sebagai kajian yang tabu bagi ilmu pengetahuan, namun
sebagai bagian tak terpisahkan darinya.
Terdapat hubungan erat
antara ilmu tasawuf dengan ilmu jiwa (psikologi). Hal ini dapat dilihat pada
substansi pembahasannya yang sama-sama membicarakan hal ihwal jiwa manusia.
Mengingat adanya
hubungan dan relevansi yang sangat erat antara tasawuf (spiritualitas Islam)
dengan ilmu jiwa (psikologi), terutama ilmu kesehatan mental, maka kajian
tasawuf tidak dapat terlepas dari kajian tentang aspek kejiwaan manusia.
Sebagai konsekwensi
logis dari karakter seorang sufi yang apa adanya, mandiri serta bebas dari
kepentingan, pengaruh atau tekanan dari luar dirinya, akan menjadikannya
seorang yang kreatif dan inovatif. Ia adalah sosok yang senantiasa menemukan
sesuatu yang baru, bahkan cenderung pada hal-hal yang bersifat controversial
atau berbeda dengan perilaku atau gagasan orang kebanyakan. Bukan sosok yang
hanya meniru atau mengulang-ulang gagasan yang telah ada sebelumnya. Meskipun
perilaku dan gagasannya mungkin ditentang oleh orang kebanyakan. Karakter yang
bebas, polos dan mandiri menjadikannya senantiasa tegar menghadapi tantangan
yang datang dari luar. Karakter ini secara jelas dapat ditemukan pada orang
yang mengaktualisasikan diri.
Bukan merupakan sesuatu
yang berlebih-lebihan bila kita mengatakan bahwa para sufi adalah pakar ilmu
jiwa sekaligus dokter jiwa. Seringkali datang kepada Syekh Sufi, orang-orang
yang menderita penyakit kejiwaan, lalu mereka mendapatkan di sisinya perasaan
santun, keikutsertaan perasaan, perhatian, rasa aman, dan ketenangan. Inilah
salah satu sebab dalam percakapan sehari-hari, orang banyak mengaitkan tasawuf
dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Hal ini cukup beralasan mengingat dalam
substansi pembahasannya, tasawuf selalu membicarakan persoalan-persoalan yang
berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, ‘dalam jiwa” yang dimaksud adalah jiwa
manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman.
Dari sinilah, tasawuf terlihat identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Dalam pembahasan
tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan agar tercipta keserasian
di antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para
sufi untuk melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikkan manusia
dengan dorongan-dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat
terjadi.
Jika perbuatan yang
ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya,
jika perbuatan yang ditampilkan buruk, ia disebut sebagai orang yang berakhlak
buruk.
Dalam pandangan kaum
sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas
dirinya.
Ditekankannya unsur
jiwa dalam konsepsi tasawuf tidak berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur
jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat
memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah dan
menjadi khalifah-Nya di bumi. Seseorang tidak akan sampai kepada Allah dan
beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat. Pandangan kaum
sufi mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu kesehatan mental. Ilmu
kesehatan mental ini merupakan bagian dari ilmu jiwa (Psikolog).
Dalam ilmu psikiater
dan psikoterapi, kata mental sering digunakan sebagai nama lain kata
personality (kepribadian), yang berarti bahwa mental adalah semua unsur jiwa,
termasuk pikiran, emosi, sikap(attitude), dan perasaan yang dalam keseluruhan
dan kebulatannya akan menentuan corak laku, cara menghadapi suatu hal yang
menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan, menyenangkan, dan
sebagainya.
Bagi para ahli di
bidang perawatan jiwa, terutama di Negara-negara yang telah maju, masalah
mental ini telah menarik perhatian mereka sampai jauh sekali. Mereka telah
menemukan hasil-hasil yang memberikan kesimpulan tegas, yang membagi manusia
pada dua golongan besar, yakni golongan yang sehat dan golongan yang kurang
sehat.
Orang yang sehat
mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup karena
orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan
mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara
membawanya pada kebahagiaan dirinya dan orang lain. Serta tetap terpelihara
moralnya.
Pada perilaku orang
sehat setiap tindak-tanduknya ditujukan untuk mencari kebahagiaan bersama,
bukan kesenangan dirinya sendiri. Kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya
digunakan untuk meraih manfaat dan kebahagiaan bersama.
Sementara cakupan
golongan yang kurang sehat sangatlah luas, dari yang paling ringan hingga yang
paling berat; Gejala umum yang tergolong pada orang yang kurang sehat dapat
dilihat dalam beberapa segi, antara lain :
1.
Perasaan, yaitu perasaan
terganggu, tidak tentram, rasa gelisah tidak tentu yang digelisahkan, tetapi
tidak dapat pula menghilangkannya (anxiety), rasa takut yang tidak masuk akal
atau tidak jelas yang ditakutinya (fhobi), rasa iri, rasa sedih yang tidak
beralasan, rasa rendah diri, sombong, suka bergantung pada orang lain, tidak
mau bertanggung jawab, dan sebagainya.
2.
Pikiran, gangguan terhadap
kesehatan mental dapat pula memengaruhi pikiran, misalnya anakl-anak menjadi
bodoh di sekolah, pemalas, dan sebagainya. Demikian pula, orang dewasa mungkin
merasa bahwa kecerdasannya telah merosot, mudah dipengaruhi orang lain, meladi
pemalas, apatis, dan sebagainya.
3.
Kelakuan, pada umumnya
kelakuannya tidak baik, seperti nakal, keras kepala, suka berdusta, menipu,
menyeleweng, mencuri, menyiksa orang lain, membunuh, merampok, dan sebagainya,
yang menyebabkan orang lain menderita dan haknya teraniaya.
4.
Kesehatan, jasmaninya dapat
terganggu, bukan karena adanya penyakit yang betul-betul mengenai jasmani itu,
tetapi sakit akibat jiwa yang tidak tentram. Penyakit ini disebut psikosomatik.
Gejala ini, yang sering terjadi, seperti sakit kepala, merasa lemas, letih,
sering masuk angin, tekanan darah tinggi atau rendah, bahkan sampai sakit yang
lebih berat, seperti lumpuh sebagian anggota badan, lidah kelu, dan sebagainya.
Yang penting adalah penyakit jasmani ini tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama
sekali.
Berbagai penyakit
seperti dijelaskan di atas sesungguhnya akan timbul pada diri manusia yang
tidak tenang hatinya, yakni hati yang jauh dari Tuhannya. Ketidaktenangan itu
akan memunculkan penyakit-penyakit mental, yang pada gilirannya akan menjelma
menjadi perilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma umum yang
disepakati.
Harus diakui memang jiwa
manusia seringkali sakit. Ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan
perjalanan menuju Allah dengan benar. Jiwa manusia juga membutuhkan perilaku
(moral) yang luhur sebab kebahagiaan tidak akan dapat diraih tanpa akhlak yang
luhur, juga tidak dapat menjadi milik tanpa melakukan perjalanan menuju Allah.
Bagi orang yang dekat
dengan Tuhannya, yang akan tampak dalam kepribadiannya adalah ketenangan.
Perilakunya juga akan menampakkan perilaku atau akhlak-akhlak yang terpuji.
Semua ini bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya. Pola kedekatan
manusia dengan Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sinilah
, tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu kesehatan mental.
1.Persamaan Konsepsi tentang Potensi Manusia
Adanya potensi kebaikan
yang dimiliki manusia adalah erat kaitannya dengan tugas besar yang diembannya
yaitu sebagai wakil Allah di bumi (khalifah fi al-ardl). Tugas berat ini
menuntut manusia untuk memiliki struktur watak yang baik, seperti keadilan,
persatuan, rendah hati, dinamis, kreatif, tegas, percaya diri, kuat dan
lain-lain. Sifat-sifat tersebutlah yang secara mendasar dimiliki oleh manusia,
meskipun sebagian besar manusia tidak menyadarinya, sehingga dorongan-dorongan
dan kecenderungan yang mengarah pada kebaikan itu mudah dipengaruhi atau
dikuasai oleh rangsanan-rangsangan yang datang dari luar. Untuk itulah, maka
diperlukan upaya aktualisasi diri.
Secara inheren,
kecenderungan atau dorongan-dorongan emosional dan biologis manusia adalah
mengarah pada kebaikan, bukan kejahatan, namun mudah untuk menerima
rangsangan-rangsangan jahat yang bersifat eksternal. Untuk itu, maka perlu
adanya pengendalian terhadap kecenderungan tersebut, sehingga tidak mudah
menerima rangsangan yang mengarahkannya pada kesalahan atau kemunduran.
Dalam tradisi tasawuf,
dorongan emosional-biologis ini disebut dengan nafsu; yakni entitas dinamis
yang ada pada diri manusia. Jika entitas ini dilatih secara benar, maka akan
tumbuh dan berkembang pada jenjang tertinggi dari kesadaran spiritual. Namun,
jika nafsu tidak dikendalikan, maka yang mendominasi adalah dorongan-dorongan
kejahatan. Untuk itulah maka diperlukan struktur nilai yang berupa wahyu,
ajaran-ajaran atau norma-norma yang dapat menjadi alat pengontrol bagi
kecenderungan nafsu.
Menurut Maslow hamper semua orang memiliki
kebutuhan dan kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri. Meski demikian,
kebanyakan orang tidak mengetahui potensi yang dimilikinya, buta terhadap
kemampuannya sendiri. Mereka tidak menyadari seberapa besar prestasi yang dapat
mereka raih dan seberapa banyak ganjaran bagi mereka yang mengaktualisasikan
diri.
2.Persamaan Konsepsi Perkembangan Jiwa Manusia
Manusia adalah makhluk
yang memiliki potensi atau kemampuan istimewa dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Manusia diberi kekuatan untuk memiliki kehendak yang bebas dan diberi
kemampuan akal yang dapat mengarahkannya pada jalan kebenaran. Manusia memiliki
karakter dasar berupa kecenderungan pada kebaikan dan kebenaran.
Manusia juga diberi
peluang untuk menjauh dari karakter dasarnya tersebut. Dengan kata lain,
manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, maju atau mundur dari proses
aktualisasi diri. Pilihan inilah yang akan dapat merubah kondisi psikologi
manusia, karena perubahan yang ada pada dirinya ditentukan oleh pilihannya
sendiri.
Comments
Post a Comment