makalah SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN-ALIRAN DALAM ISLAM
SEJARAH
MUNCULNYA ALIRAN-ALIRAN DALAM ISLAM
MAKALAH
Guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tauhid
Pengampu: Drs. H. Abdul Wahib Syakour, M.Pd
Disusun oleh kelompok 8:
1.
Tri Rahayuning R (1310110061)
2.
Nila Niswatul Khusna (1310110071)
3.
Iyanatul Masbakhah (1310110077)
4. Sulfiana Mufidah (1310110068)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Meski sebagai muslim kita diwajibkan untuk meyakini bahwa agama
Islam adalah yang paling benar, namun Islam melarang umatnya untuk merendahkan
agama lain. Apalagi menyakiti penganut agama non-muslim. Sikap merendahkan
non-muslim justru menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang mulia. Padahal
perintah Allah SWT dalam Al-Quran dan semangat yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Nabi Muhammad SAW adalah teladan yang layak dijadikan teladan oleh
manusia. Dalam kehidupan beliau sebagai pemimpin Madinah, sikap toleran
terhadap agama lainnya menjadi karakter kepemimpinya. Bukan”arogansi
teologis”yang beliau tunjukkan akan tetapi ajakan untuk bersama-sama
membangun masyarakat dan melindungi negara dari ancaman musuh. Padahal jika
beliau mahu, beliau bisa mengusir mereka dari Madinah dengan alasan berbeda
agama. Oleh karena itu “arogansi teologis” yang ditampilkan oleh
sejumlah umat Islam di Indonesia tidak memiliki “legitimasi dokrin” dari
sejarah Islam. Melainkan hanya disebabkan oleh keangkuhan dan merasa diri
paling benar.
Dalam tradisi intelektualitas Islam, teologi yang dikenal luas
adalah Asyi’ariah, selanjutnya lebih populer disebut dengan Ahlu al-Sunnah wa
al-Jama’ah. Kemunculan teologi Ahlu al-Sunnah wa al- Jama’ah menjadi solusi
akan masalah yang meruncing antara Ahlu al-Hadist dan Ahlu al-Ra’yi
(teologi mu’tazilah) yang kemudian permasalahan ini berujung pada masalah
mihnah (inquisition). Teologi ini berkembang pesat dan menjadi mazhab
resmi yang dianut umat Islam. sehingga menjawab kebingungan teologi yang
dialami oleh masyarakat Islam.
B. Rumusan masalah
1. Sejarah munculnya
aliran dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Munculnya Aliran dalam Islam
Ketika Rasulullah mulai menyiarkan ajaran-ajaran islam yang beliau
terima dari Allah di Mekkah, kota ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang
terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
Pada pertengahan abad ke-6 M, jalan dagang Timur-Barat berpindah
dari Teluk Persia – Euphrat di Utara dan Laut Merah – Perlembahan Neil di
Selatan, ke Yaman – Hijaz Syiria. Peperangan yang senantiasa terjadi antara
kerajaan Byzantin dan Persia membuat jalan Utara tak selamat dan tak
menguntungkan bagi dagang.
Dengan pindahnya perjalanan dagang Timur-Barat ke Semenanjung
Arabia, Mekah yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan dagang itu,
menjadi kota dagang.
Kekuasaan sebenarnya terletak di tangan kaum pedagang tinggi untuk
menjaga kepentingan-kepentingan mereka, mempunyai perasaan solidaritas kuat
yang kelihatan efeknya dalam perlawanan mereka terhadap Nabi, sehingga beliau
dan pengikut-pengikut beliau terpaksa meninggalkan Mekkah pergi ke Yatsrib di
tahun 622 M.
Keadaan yang demikian ini berbeda dengan yang ada di kota Yatsrib.
Kota ini bukanlah kota pedagang, tetapi kota petani. Masyarakatnya tidak
homogeny, tetapi terdiri dari bangsa Arab dan bangsa Yahud. bangsa Arabnya
tersusun dari dua suku bangsa, al-Khazraj dan al-‘Aus.
Dari sejarah ringkas tadi dapat di ambil kesimpulan bahwa ketika
Nabi masih di Mekah hanya mempunyai fungsi kepala agama,dan tak mempunyai
fungsi kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum
dapat dijatuhkan pada waktu itu.
Ketika beliau wafat ditahun
632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi
boleh dikatakan meliputi seluruh Semeanjung Arabia.
Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu
wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan
pengganti beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu, sehingga
penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka.
Sejarah
meriwayatkan bahwa Abu Bakarlah yang disetujui oleh masyarakat islam di waktu
itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai Negara mereka.
Kemudian Abu Bakar digantikan oleh ‘Umar bin Khattab dan ‘Umar oleh ‘Utsman bin
Affan.
‘Umar Ibn Khattabb adalah
sahabat Nabi yang bergairah kepada al-Qur’an dan lebih teguh berpegang
kepadanya, yang oleh Nabi semasa hidupnya pernah disebut sebagai orang yang
paling mungkin menjadi utusan Tuhan, seandainya Nabi sendiri bukan Rasul
pungkasan. Khalifah kedua ini oleh mayoritas umat islam disepakati sebagai
orang beriman yang paling berhasil. Namun keadaan gemilang masa ‘Umar itu tak
berlangsung lama.
‘Utsman bin Affan, penggantinya selaku khalifah ketiga, sekalipun
banyak mempunyai kelebihan dan jasa di bidang lain, namun dalam kepemimpinan
dicatat sebagai orang yang lemah. Karena kelemahan itu, ‘Utsman agaknya tidak
berdaya menghadapi desakan-desakan kelompok tertentu dari kalangan Bani
Umayyah, yang ingin meningkatkan pengaruh dan memperbesar peranan mereka
sendiri dalam masyarakat islam yang baru tumbuh dan berkembang itu.
Setelah ‘Utsman bin Affan wafat, ‘Ali sebagai calon terkuat,
menjadi khalifah yang ke-4, tetapi ia segera mendapat tantangan dari
pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah. Dan juga Ali terpilih sebagai
pengganti Utsman itu tidak mendapat suara bulat, ada kelompok tertentu yang
tidak setuju atas pengangkatan Ali dan menuduh bahwa Ali terlibat atau
setidak-tidaknya membiyarkan komplotan pembunuh ‘Utsman. Kelompok ini kemudian
dikenal dengan golongan Syi’ah.
Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan
keluaraga yang dekta bagi ‘Utsman. Sebagaimana halnya Thalhah dan Zubair, ia
tak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum
pembunuh-pembunuh ‘Utsman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal
pembunuhan itu. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap
pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi
Gubernur Mesir.
Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di
shiffin, tentara Ali dapat mendesak tentara muawiyah sehingga yang tersebut
akhir ini bersedia-sedia untuk lari. Tetapi tangan kanan mu’awiyah , ‘Amr ibn
al-Ash yang terkenal sebagai orang licik, minta berdamai dengan mengangkatkan
al-Qur’an ke atas. Qurra’ yang ada dipihak Ali mendesak Ali supaya menerima
tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan
Arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang : ‘Amr bin Ash dari pihak
Mu’awiyah dan Abu Musa al- Asyari dari pihak Ali.
Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi
Khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak Ali dan
tak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh ditahun 661 M.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin ash untuk mengadakn
arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian
dari tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan
oleh arbitrase manusia. Putusan hanya daatang dari Allah dengan kembali kepada
hukum-hukum yang ada dalam Alquran. La-hukma illa lillah ( tidak ada
hukum sealin dari hukum Allah). Atau La hakama illa Allah tidak ada
pengantara selain Allah ), menjadi semboyan mereka.
Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah, dan oleh
karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah
islam terkenal dengan nama al khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan
diri atau seceders.
Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali.
Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu
Muawiyah dari satu pihak dan Khawarij dari pihak lainnya. Karena selalu
mendapat serangan dari pihak kedua ini, Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya
untuk menghancurkan kaum khawarij tetapi setelah mereka ini kalah, tentara Ali
telah terlalu capek untuk meneruskan pertempuran dengan Muawiyah. Muawiyah
tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali bin Abi Thalib wafat, ia dengan
mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat islam ditahun 661 M.
Persoalan-persoalan yang terjadi
dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah terakhirnya membawa
kepda timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang
kafir dan siapa yang bukan kafirdalam arti siapa yang telah keluar dari islam
dan siapa yang masih tetap dalam islam.
Khawarij memandang bahwa Ali,
Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al Asy’ari yang menerima arbitrase adalah
kafir, karena al-qur’an mengatakan:
…. `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
Dari ayat inilah ia mengambil
semboyan la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah) yang
menjadi semboyan kaum khawarij karena putusan hanya datang dari Allah dengan
kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. [1]
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran dalam
islam:
1)
Khawarij
Mengatakan bahwa orang berdosa
besar adalah kafir. Dalam arti keluar dari islam atau tegasnya murtad dan oleh
karena itu ia wajib dibunuh.
2)
Aliran Murji’ah
Menegaskan bahwa orang yang
berbuat dosa besar tetap masih mukin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang
dilakukannya, terserah pada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak
mengampuninya.
3)
Mu’tazilah
Aliran yang tidak menerima pendapat di atas.
Bagi mereka yang berdosa besar bukan kafir dan bukan mu’min. Orang yang serupa
ini kata mereka mengambil posisi diantara kedua posisi mu’min dan kafir atau
yang disebut dengan al manzilah bain al manzilatain (posisi
diantara dua posisi). [2]
Selain ketiga timbul pula dalam
islam tiga aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al-Qodariyah dan
al-Jabariyah. Menuurtu Qadariyah manusia mempunyia kemerdekaan dalam kehendak
dna perbuatannya. Jabriyah yaitu sebaliknya berpendapat tidak empunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah
lakunya, menurut faham jabariyah, bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala
gerakan manusia ditentukan oleh Tuhan.
Telogi mereka yang bersifat
rasionil dan liberal itu begitu menarik bagi kaum inteligensia yang terdapat
dalam lingkungan pemerintahan kerajaan islam Abbasiyah di permulaan abad 9 M sehingga
khalifah al-Ma’mun (813-833M) putra dari khalifah Harun Ar-Rasyid.
(766-809M). Di tahun 827 M, menjadikan
teologi mu’tazilah sebagai madzhab yang rsemi dianut Negara.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak
rasionil ini mendapatkan tantangan keras dari golongan tradisionil islam,
terutama golongan Hanbali. Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran
teologi tradisionil yang disusun oleh Abu Hasaan al-Asy’ari (935 M). ‘Asya’ari
sendiri mulanya adalah seorahng mu’tazilah, tetapi kemudian, menurut riwayatnya
setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran mu’tazilah dicap nabi
Muhammadsebagai ajaran-ajaran yang sesat, Al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran
itu dan membentuk ajaran-ajaran baru yang kemudian terkenal dengan nama
Asy’ariyah.[3]
Kemudian hampir bersamaan waktunya dengan Asy’ariyah muncullah
aliran Maturidiyah, yang al Maturidi berpendapat bahwa semua perbuatan manusia
adalah dikehendaki oleh Tuhan, tetapi brebeda dari Asy’ari, ia berpendapa bahwa
perbuatan-perbuatan yang jahat tidaklah diiringi oleh ridha Tuhan. Sekalipun
kedua aliarn ini nampak ada perbedaan pandangan namun, keduanya memiliki
kesamaan dalaam hal membangun kembali teologi aliran yang benar menurut
al-Qur’an dan hadits . Pada abad ketiga sampai emapat muncullah golongna yang
gigih menamakan sebagai salafiyah. Mereka adalahpengikut golongan pengikut imam Ahmad bin
Hanbal. Sebenarnya golongan Asy,ariyah juga mengaku sebagai pengikut
salaf tetapi menurut pandangan golongan hanbali, kaum Asy’ariyah, Maturidiyah, dan Mu’tazilah adalah
golongan yang telah menyimpang dari sikap dan pendirian salaf.[4]
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam
islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asyariah dan Maturidiah.
Aliran-aliran Khawarij,Murjiah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali
dalam sejarah.yang masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Asyariah dan
Maturidiah dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran
Maturidiah banyak dianut oleh umat islam yang bermadzhab Hanafi, sedang aliran
Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat islam Sunni lainnya. Dengan masuknya
kembali faham rasionalisme ke dunia islam, yang kalau dahulu masuknya itu
melalui kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat
modern, maka ajaran-ajaran mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di
kalangan kaum intelegensia islam yang mendapat pendidikan barat. Kata
neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai islam.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari sejarah di
atas, dari Rasulullah yang ketika menyebarkan agama islam di mekah beliau belum
bisa mengepalai sebuah pemerintahan, akan tetapi ketika hijrah ke Madinah
beliau tidak hanya menjadi kepala agama tapi juga menjadi pemerintahan. Beliau
lah yang mendirikan kekuasaan politik islam yang dipatuhi di kota madinah.
Setelah wafatnya beliau kemudian bergantilah kepala negara itu,
yang pertama yaitu Abu Bakr, kedua ‘Umar bin khotob, ketiga ‘Utsman bin ‘Affan
dan yang keempat ‘Ali bin Abi Tholib. Keempat penggani Rasulullah ini yang
kemudian terkenal dengan khulafau ar
Rosyidin.
Namun ketika pemerintahan dikepalai
oleh ‘Utsman, tindakan-tindakan politiknya justru menimbulkan ketidak senangan
dari sekelompok sahabat dari para sahabat dan yang lainnya, sehingga
menimbulkan pemberontakan yang merugikan dirinya sendiri, bahkan pemberontak
yang di Mesir bergerak menuju Madinah hingga membunuh ‘Utsman.
Setelah wafatnya
‘Utsman, kemudian kekholifahan digantikan oleh ‘Ali bin Abi Tholib, tetapi
karena adanya keinginan dari sahabat lain yang ingin menjadi kholifah, di
antaranya Tolhah dan Zubair yang disokong ‘Aisyah, maka terjadilah peperangan
antara mereka di Irak pada tahun 656 M, akhirnya ‘Ali bisa mengalahkan mereka.
Setelah peperangan
berakhir datang lagi tantangan dari salah seorang yang masih termasuk keluarga
‘Utsman, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, hingga terjadi perang yang terkenal
dengan perang shiffin. Dari peperangan inilah yang kemudian adanya arbitrase
antara keduanya dan memunculkan kaum Khowarij
dan Syiah.
Dari khowarij ini
yang kemudian memandang bahwa orang yang menerima arbitrasae adalah kafir dan
wajib dibunuh. Lambat laun khowarij tepecah dan mengalami perubahan, yang
dianggap telah kafir juga orang yang berbuat dosa besar. Yang kemudian dari
persoalan ini, muncul aliran Khowarij,
Murji’ah dan Mu’tazilah. Kemudian timbul pula dua aliran teologi dalam islam,
yaitu Qodariah dan Jabariah,yang kemudian Mu’tazilah
mengikuti faham Qodariah dan terpengaruh budaya Yunani klasik yang befikir
secara bebas dengan akal. Karena berfikir bebas ini kemudian mereka menganggap
al Quran itu bersifat mahluk bukan Qodim, maka timbullah perlawanan dari
umat islam yang lain yang membentuk aliran sendiri, yaitu : al Asy’ariah, al Maturidiah
dan at Tahawi. Namun at Tahawi ini tidak menjelma sebagai aliran teologi islam.
Dengan demikian
aliran yang muncul yaitu : Khowarij, Syiah,
Qodariah, Jabariah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah.
B.
Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa dalam makalah
ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekhilafan oleh karena itu, kepada
para pembaca kami mengharapkan saran dan kritik ataupun tegur sapa yang
sifatnya membangun akan diterima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, STAIN Kudus, Kudus: 2009
Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, STAIN Kudus, Kudus: 2009.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, UI Press, Jakarta: 1986.
SYUKRON
ReplyDeleteAFWAN
ReplyDeleteGood,,thanks yeaa
ReplyDelete