LATAR BELAKANG MUNCULNYA BERBAGAI KUBU PEMIKIRAN DALAM ISLAM

LATAR BELAKANG MUNCULNYA BERBAGAI KUBU PEMIKIRAN DALAM ISLAM



Sejak hancurnya Khilafah Islamiyah di Turki tahun 1924 tersebut, muncullah berbagai jamaah atau gerakan Islam yang berjuang untuk mendirikan kembali Khilafah Islamiyah di muka bumi. Hal ini tentu adalah suatu kewajaran, mengingat hanya dengan negara Khilafah itulah, seluruh ajaran Islam akan dapat diterapkan secara sempurna dan kaffah dalam segala aspek kehidupan. Sebaliknya di bawah tindasan sistem masyarakat sekular sekarang ini dan tanpa negara Khilafah, dengan sendirinya Islam akan mengalami reduksi dan distorsi yang ekstrem, sehingga yang tersisa dari Islam hanyalah ibadah mahdhah, muamalah yang terbatas (seperti nikah, talak, cerai, rujuk, waris) dan aspek moral (akhlaq). Kesadaran akan keharusan  dibawah satu kepemimpinan inilah yang menjadi pendorong utama munculnya berbagai jamaah atau gerakan Islam yang ada di Dunia Islam.

Kalau kita meneliti berbagai jamaah/kelompok/organisasi Islam yang ada pada setiap masa, maka akan kita jumpai keberagaman yang majemuk. Keberagaman gerakan tersebut disebabkan oleh 2 (dua) faktor, yakni:

(1) syar’i memang membolehkan adanya keberagaman jamaah Islam, dan 

(2) nash-nash syar’i yang zhanniyah ad-dalalah memang bersifat ijtidiyah sehingga memungkinkan lahirnya lebih dari satu pengertian, baik dalam pola pemahaman (fikrah) maupun pola operasional (thariqah).

Faktor Pertama, bahwa syara’ memang menunjukkan akan adanya banyak gerakan/kelompok harakah Islam (ta’addud al ahzab). Misalnya munculnya gerakan politik seperti Khawarij, Harakah Abbasiyah, atau fenomena semisal itu seperti timbulnya berbagai madzhab seperti madzhab Hanafi, Syafi’i, Hanbali, dan Maliki, dan sebagainya sebagaimana yang telah dialami oleh kaum muslimin terdahulu.

Semua madzhab ini posisinya sama seperti jamaah/kelompok/gerakan Islam yang ada saat ini. Dasar kebolehan adanya beraneka ragam kelompok dakwah adalah firman Allah SWT:

(Dan) hendaklah ada di antara kamu segolongan umat (jamaah, kelompok dakwah, partai Islam, atau istilah yang sejenis) yang menyeru kepada bebajikan (Islam), memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs. Ali-lmran [3]: 104).

Faktor Kedua, setiap gerakan berdiri atas dasar pemahaman tertentu (fikrah) dan juga pola operasional dakwah (thariqah) yang tertentu pula, di samping pemahaman mereka dalam menentukan prioritas utama (aulawiyat) terhadap masalah-masalah vital umat. Mengenai pola operasional dakwah bagi suatu gerakan, memang nash-nash syara’ memungkinkan adanya lebih dari satu macam pemahaman. Sebab, nash-nash tersebut khususnya yang berkaitan dengan pola operasional gerakan, menunjukkan lebih dari satu pengertian, karena sifatnya zhanniyah ad-dalalah (memiliki makna yang zhanni/bersifat dugaan). Misalnya, ada gerakan yang menganalogikan situasi sekarang dengan situasi dakwah Rasulullah SAW di Makkah, sehingga mereka beranggapan bahwa menggunakan tindakan fisik (kekerasan/kelompok bersenjata) adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan dakwah Rasulullah SAW. Ada juga gerakan yang bersandar pada hadits-hadits yang mengharuskan umat menentang penguasa dengan pedang atau kekerasan. Mereka beranggapan bahwa hadits-hadits tersebut memang mengharuskan agar umat bertindak demikian. Dari sudut tinjauan lain, ada sebagian harakah Islam menganalisis bahwa penyebab utama munculnya berbagai krisis politik, ekonomi, militer, maupun pendidikan, dan krisis lainnya dewasa ini, adalah karena tidak adanya negara Islam (Khilafah Islamiyah). Selain itu, ada pula yang beranggapan bahwa semua krisis tersebut muncul karena lemahnya keimanan dan rendahnya tingkat kerohanian kaum muslimin. Sedangkan kelompok lain beranggapan bahwa kelemahan umat Islam pada masa sekarang disebabkan oleh lemahnya bidang penghidupan ekonomi, keterbelakangan umat di bidang pendidikan, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan dua faktor di atas, maka munculnya beraneka ragam gerakan merupakan suatu hal yang wajar. Bahkan menurut sunnatullah, ini merupakah suatu keharusan, sebagaimana firman-Nya:

Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia menjadi umat yang satu. Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhannya. Dan untuk itu, Allah menciptakan mereka. (Qs. Huud [11]: 118-119).

Selain karena dua faktor di atas, ada beberapa faktor lain yang melatar belakangi munculnya kubu-kubu pemikiran dalam islam, diantaranya adalah:

Faktor politik

Faktor inilah yang paling besar yang menjadi pemicu atau pendorong munculnya kubu-kubu pemikiran dalam islam. Tidak sedikit dari kaum muslimin yang saling menjatuhkan satu sama lain bahkan sampai terjadi pertumpahan darah antara mereka hanya dikarenakan persaingan politik atau perbutan kekuasaan. Hal ini sebenarnya sudah muncul sejak akhir-akhir masa kepemimpinan Ustman bin Affan hingga masa-masa awal kepemimpinan Ali ra.

Kisah dimulai dari terbunuhnya khalifiah Ustman bin Affan. Setelah beliau terbunuh, masyarakat Madinah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah berikutnya, namun  Muawiyyah bin Abi Sofyan (gubernur di Siria) menolaknya. Menurutnya bahwa khalifah ’Utsman ibn ’Affan ada hubungan kerabat Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, maka ia merasa memiliki hak qishâs (hak menuntut balas). Adapun dasar pemikiran Mu’âwiyah dilandaskan pada QS.2: 178:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh).

Menurut Mu’âwiyah, ’Alî ibn Abî Thâlib merupakan dalang (aktor intelektual) dibalik pembunuhan khalîfah ’Utsmân ibn ’Affân, terkecuali ia mampu menunujukkan pelaku yang sesungguhnya. Selama ia tidak sanggup menangkap pelaku pembunuh khalîfah’Utsmân ibn ’Affân, maka dirinya (Mu’awiyah) tidak mengakui  ke-khalîfah’-an Alî ibn Abî Thâlib. Penetapan kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib tidak sah, sebab hanya ditentukan oleh rapat terbatas masyarakat Madinah, padahal wilayah kekuasaan Islam bukan hanya di Madinah saja. Apalagi dirinya adalah gubenur, sekaligus kerabat dekat  khalifah ’Utsman ibn ’Affan. Dirinyalah yang berhak menjadi khalifah, bukan ’Ali ibn Abi Thalib. Sebaliknya, ’Ali ibn Abi Thalib juga menuntut Mu’awiyah mau mengakui terlebih dahulu kepemimpinannya. Jika tidak, bagaimana mungkin dirinya bisa mengusut perkara besar, jika ia tidak memiliki otoritas.

Masing-masing kubu bersikeras dengan pendiriannya. Akhirnya terjadilah perang Shiffin. Dalam perang tersebut, pasukan Mu’awiyah terdesak dan nyaris kalah. Mendadak mereka mengangkat al-Qur’an sebagai tanda ajakan damai. Ajakan tersebut disambut positif oleh ’Ali ibn Abi Thalib.

Guna menjajaki seberapa jauh bentuk perdamaian yang dimaksud, kedua kubu mengirimkan juru runding. Dari pihak ’Ali ibn Abi Thalib diwakilkan Musa Al-Asy’ârî. Sedangkan dari pihak Mu’âwiyah diwakilkan’Amr ibn Ash. Keduanya lalu berunding.

Pokok utama pembicaraan mereka ialah mencari tahu penyebab terjadinya perang Shiffin, dan mencari jalan pemecahannya. Setelah lama mereka berdiskusi, tercapailah satu pemahaman bersama bahwa penyebab utama terjadinya perang Shiffin adalahperebutan kekuasaan. Menurut keduanya, jalan pemecahan atas persoalan tersebut ialah mencabut kekuasaan mereka (’Ali ibn AbiThalib dan Mu’awiyah). Selanjutnya diadakan pemilihan ulang. Bagi yang memperoleh dukungan terbanyak, dialah yang ditetapkan sebagai khalifah.

Bukan hanya itu saja, ternyata lahirnya Ahmadiyah, NII dan aliran-aliran yang lain juga tidak terlepas dari pengaruh politik. Ahmadiyah dibentuk oleh imperialis Inggris di India tentunya mempunyai alasan tertentu yang menguntungkan mereka, yaitu supaya warga India khususnya yang beragama Islam tidak disibukkan lagi untuk berjuang melawan penjajah tapi perhatiannya dialihkan untuk mengurusi aliran sesat di sana.


Factor sosio-kultural ini juga dipengaruhi oleh waktu dimana orang itu hidup dan berkembang. Seperti pada masa pemerintahan Abbasiyah hidup imam-imam madzhab hukum. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistim madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab.

Sebagaimana yang kita ketahui pada masa itu baru berkembang 2 kutub fiqih, yaitu kutub Baghdad dengan Abu Hanifah Rahimahullah sebagai maha guru, dan kutub Hijaz dengan imam Malik Rahimahullah sebagai maha guru.

Masing-masing punya keistimewaan. Abu Hanifah Rahimahullah telah berhasil memecahkan sistem istimbath hukum dengan kondisi minimnya hadits shahih dan berserakannya hadits dhaif dan palsu. Kondisi yang demikian telah memaksa beliau melakukan ijtihad dan pengembangan logika hukum dengan tetap berlandaskan kepada hadits-hadits shahih, meski jumlahnya sangat minim di negerinya.

Di belahan bumi yang lain, ada Imam Malik Rahimahullah yang tinggal di Madinah dan menjadi imam masjid sekaligus menjadi mufti. Madinah adalah kota suci nabi Muhammad SAW dan para shahabat rahiyallahu anhum ajmain. Saat itu, 100 tahunan sepeninggal generasi Rasulullah SAW dan para shahabat, di Madinah masih tersisa banyak anak cucu dan keturunan generasi terbaik.

Nyaris tidak ada yang berubah dari pola kehidupan di zaman nabi. Bahkan Imam MalikRahimahullah berkeyakinan bahwa setiap perbuatan dan tindakan penduduk Madinah saat itu boleh dijadikan sebagai landasan hukum. Lantaran beliau yakin bahwa mustahil generasi keturuan nabi dan para shahabat memalsukan hadits atau berbohong tentang nabi.

Maka salah satu ciri khas mazhab Malik adalah kekuatan mereka menggunakan dalil, meski kalau disandingkan dengan syarat ketat versi Al-Bukhari nantinya, hadits itu dianggap kurang kuat. Dan Imam Malik nyaris menghindari logika fiqih semacam qiyas dan sejenisnya, karena memang nyaris kurang diperlukan. Sebab kondisi sosial ekonomi di Madinah di zamannya masih mirip sekali dengan zaman nabi SAW.

Berbeda dengan kondisi sosial ekonomi di Iraq, tempat di mana Al-Imam Abu HanifahRahimahullah mendirikan pusat ilmu. Selain hadits palsu banyak berseliweran, Iraq sudah menjadi kosmopolitan dengan sekian banyak dinamika yang melebihi zamannya. Banyak fenomena yang tidak ada jawabannya kalau hanya merujuk kepada nash-nash hadits saja. Maka wajar bila Imam Abu Hanifah Rahimahullah mengembangkan pola qiyas secara lebih luas.

Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah adalah murid paling pandai yang berguru kepada Imam Malik Rahimahullah ketika beliau tinggal di Madinah. Namun setelah itu beliau ke Iraq,dan di Iraq beliau juga belajar kepada murid-murid Imam Abu Hanifah Rahimahullah. Maka mazhab fiqih yang beliau kembangkan di Iraq adalah perpaduan antara dua kekuatan tersebut. Semua keistimewaan mazhab Malik di Madinah dipadukan dengan keunikan mazhab Hanafiyah di Iraq.

Setelah tinggal di Iraq beberapa lama, Imam As-syafi'i Rahimahullah kemudian pindah ke Mesir. Di negeri yang pertama kali dibebaskan oleh Amr bin Al-Ash itu, beliau menemukan banyak hal baru yang belum pernah ditemukannya selama ini. Baik tambahan jumlah hadits atau pun logika fiqih.

Maka saat di Mesir itu, beliau melakukan revisi ulang atas pendapat-pendapatnya selama di Iraq. Revisinya yang begitu banyak itu, sesuai dengan perkembangan terakhir ilmu dan informasi yang beliau dapatkan di Mesir.
Dari pemaparan di atas, dapat kami simpulkan bahwa ada beberapa faktor yang melatar belakangi munculnya berbagai kubu pemikiran dalam islam yaitu:
·         Faktor Internal yaitu factor yang muncul dari dalam Islam itu sendiri, seperti.
o   Syara’ yang memang membolehkan adanya keberagaman jamaah islam
o   Perbedaan di dalam memahami nash-nash yang bersifat zhanniyah ad-dalalah 
·         Faktor eksternal yaitu faktor yang muncul dari luar Islam, seperti
o   Politik,
o   Sosiokultural,
o   Ekonomi,
o   Dll.
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA


 

Comments

Popular posts from this blog

PIDATO IDIOLOGI WANITA SHOLEHAH

PPKN Kelas 5 ( (keragaman sosial budaya Masyarakat)

Pengertian IAD , ISD dan IBD