hubugan tasawuf dengan psikologi
MAKALAH
HUBUNGAN
TASAWUF DENGAN PSIKOLOGI
Diajukan
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tasawuf
Dosen
Pembimbing : Drs. H. Fathul Mufid,
M.Si
Disusun
Oleh : Kelompok 13
Nama
:1. Sulfiana
Mufidah ( 1310110068)
2. Iyanatul Masbakhah (1310110077)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Adanya keterkaitan antara jiwa dan raga dalam pembahasan tasawuf inilah
yang menjadikan tasawuf erat hubungannya dengan psikologi yang banyak membahas
tentang jiwa. Selain tasawuf dan psikologi ada
juga yang disebut psikologi islam. Psikologi islam berkembang tidak semata-mata karena ingin memberi
wawasan islam pada psikologi. Tetapi juga karena islam selama ini telah
memiliki tasawuf yang ruang lingkupnya lebih luas dari pada psikologi, sehingga
akan lebih komprehensif dalam mengkaji masalah jiwa dan kejiwaan umat islam.
Ini berarti bahwa tasawuf memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan
psikologi, khususnya psikologi islam.
Dilihat dari perspektif sufistik unsur-unsur
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual itu juga ada dalam tasawuf. Kecerdasan
emosional memang membuat orang lebih mudah mencapai sukses dalam hidup. Tapi
untuk menemukan kebahagiaan dan makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan
spiritual.
Dalam makalah ini saya akan membahas lebih dalam dari hubungan
tasawuf dengan psikologi dan kaitannya dengan kecerdasan emosional dan
spiritual. Jadi untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa hubungan tasawuf dengan psikologi?
2.
Apa
hubungan tasawuf dan Kecerdasan Emosinal?
3.
Apa
hubungan tasawuf dan Kecerdasan Spiritual?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan
Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Psikologi (Jiwa)
Diantara bahasan ilmu psikologi
(Jiwa) adalah kesehatan mental, yaitu mental yang sehat dan tidak sehat. Mental
disini adalah mental dalam hubungannya
dengan tindak tanduk manusia, mental dengan hubungannya dengan rasa bahagia dan
tidak bahagia, dan lain-lain.
Di dalam ilmu tasawuf juga dibahas hubungan antara jiwa dan
jasmani. Ini dirumuskan oleh para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan
perilaku manusia dengan dorongan yang dimunculkan oleh jiwanya sehingga
perbuatan tersebut dapat terjadi. Menurut para sufi, perilaku atau akhlak
seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa dalam dirinya. Apakah
dikuasai oleh hawa nafsu hewani atau dikuasai oleh cahaya Ilahi. Karena itulah,
dalam tasawuf, jiwa mesti terus dibersihkan dengan berbagai latihan dan amalan.[1]
Orang yang sehat mental
adalah orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan pribadinya. Misalnya
ketika ada masalah dia tidak mudah stress, tapi mencoba mencari solusi
pemecahannya dengan cara mencari sebab-sebab permasalahannya. Orang yang sehat
mentalnya tentulah tercermin dalam diri orang yang baik kepribadiannya yang
sangat tercermin dalam tingkah laku atau akhlaknya. Dia tidak akan sombong
ketika memiliki kelebihan dari yang lain; dia tidak akan mengucapkan kata-kata
yang menyakitkan hati yang lain dsb. Pada porsi inilah ajaran-ajarn tasawuf
sangat menunjang. Misalnya ketika seseorang sangat bersedih karena kehilangan
seseorang yang sangat dicintainya, maka ajaran tasawuf mengatakan bahwa semua
ini milik Allah dan akan kembali kepadaNya. Pada orang yang resah dan galau,
maka ajaran tasawuf akan mengatakan dengan mengingat Allah hati akan menjadi
tenang.
Jadi ada persamaan antara tasawuf dengan
psikologi. Tasawuf merupakan bidang kajiaan islam yang membahas jiwa dan gejala
kejiwaan dalam bentuk tingkah laku manusia dengan lebih mengonsentrasikan
kebersihan jiwa dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui berbagai Ibadah.
Sedangkan psikologi adalah ilmu sosial
yang membahas gejala kejiwaan, tetapi tidak membahas jiwa itu sendiri.
Psikologi lebih banyak menggunakan teori-teori dengan berbagai solusi diluar konteks
ibadah atau zikir yang dikenal dalam tasawuf.[2]
Selain tasawuf dan psikologi ada
juga yang disebut psikologi islam. Psikologi islam ialah memberi wawasan islam
pada psikologi dan membuang unsur-unsur yang tidak sesuai dengan islam. Tasawuf
mampunyai kontribusi besar dalam perkembangan psikologi islam, karena tasawuf
merupakan bidang kajiaan islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan. Unsur
Islam dalam psikologi islam akan banyak berasal dari tasawuf. Psikologi islam
berkembang tidak semata-mata karena
ingin memberi wawasan islam pada psikologi. Tetapi juga karena islam selama ini
telah memiliki tasawuf yang ruang lingkupnya lebih luas dari pada
psikologi,sehingga akan lebih komprehensif dalam mengkaji masalah jiwa dan
kejiwaan umat islam.
B.
Tasawuf
dan kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman adalah kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orrang lain.
Dengan demikian kecerdasan emosional mencakup
1.
Kesadaran
diri, berarti menegtahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan
menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak
ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
2.
Pengaturan
diri ialah menangani emosi sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas,
peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya
suatu sasaran, dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
3.
Motivasi
berarti menggunakna hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun
kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan berrtindak sangat
efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
4.
Empati
adalah merasakan apa yang dirasakan olehorang lain, mampu memahami perspektif
mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan
bermacam-macam orang.
5.
Keterampilan
social adalah menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain
dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan social, berinteraksi dengan
lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan
memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerja sama
dan bekerja dalam tim.
Dilihat dari perspektif sufistik unsur-unsur kecerdasan emosional
itu juga ada dalam tasawuf. Misalnya kesadaran diri dalam tasawuf disebut
muhasabah. Muhasabah berarti melakukan perhitungan, yaitu perhitungan terhadap
diri sendiri mengenai perbuatan baik dan buruk yang pernah dilakukan. Tujuannya
adalah mengurangi atau kalau bisa menghilangkan perbuatan buruk dan
meningkatkan perbuatan baik.
Konsep muhasabah sering dikaitkan dengan ucapan Ali bin Abi Thalib
yang mengatakan bahwa orang harus menghitung diri sendiri sebelum dihitung
amalnya oleh Allah.
Selain itu sebagian pakar tasawuf ada yang mengaitkan konsep
muhasabah dengan Abu Abdullahal-Harits bin Asad al-Muhasibi. Al-Muhasibi sering
menggunakan konsep muhasabah dalam ajaran tasawufnya. Menurut dia, motivasi
manusia untuk melakukan perhitungan diri sendiri mengandung harapan dan
kecemasan, dan perhitungan itu merupakan landasan perilaku yang baik dan taqwa.
Kemudian pengaturan diri dalam tasawuf banyak kesamaannya dengan sabar. Sabar
berarti menahan, maksudnya menahan diri dari keluh kesah ketika menjalankan
ajaran Tuhan dan sewaktu menghadpai musibah. Jadi, sabar meliputi urusan dunia
dan akhirat.
Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk selalu
bersabar, antara lain QS. Ali ‘Imron: 200 yang artinya:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#rçÉ9ô¹$# (#rãÎ/$|¹ur (#qäÜÎ/#uur (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇËÉÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu”.
Kesabaran ada beberapa macam:
1.
Bersabar untuk menjauhi larangan Allah,
seperti berzina, mabuk, berjudi, mencuri dan korupsi.
2.
Sabar
dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, memeliharanya terus menerus,
menjaganya dengan ikhlas dan memperbaikinya dengan pengetahuan. Dalam islam ada
perintah menjalankan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Kemudian
ada perintah berlaku jujur, membantu sesame yang lemah dan sebagainya.
3.
Sabar
ketika menghadapi musibah, seperti kematian, kecelakaan, usaha bangkrut,
dipecat dair pekerjaan, difitnah, dan sebagainya. Orang harus bersabar dalam menghadapi
musibah, karena musibah itu merupakan cobaan dari Allah, apakah ia dapat
menjalaninya dengan sabar atau berkeluh kesah. Kemudian harus ingat bahwa
nikmat yang telah diterima dari Tuhan selama ini masih lebih besar dari pada musibah
yang menimpanya.
Lalu motivasi dalam tasawuf
banyak kesamaannya dengan raja’ (harapan atau optimisme). Sebab orang yang memiliki motivasi biasanya
optimistis dan sebaliknya orang yang otimistis dalam hidupnya biasanya memiliki
motivasi.
Dalam tasawuf raja’ berarti bersikap otimistis terhadap rahmat
Allah. Tetapi optimisme bertingkat-tingkat. Tingkat yang paling tinggi adalah
harapan para sufi untuk mnedekat dan bertemu dnegan Allah.
Sedang bagi orang awam atau orang yang bukan sufi, raja’ berarti mengharap
kesejahteraan di dunia dan keselamatan di akhirat. Orang yang selamat di
akhirat adalah orang yang mendapat ampunan Allah. Karena itu, orang harus
selalu bertobat memohon ampunan Allah dan berharap Allah mengampuninya.
Sedang optimisme dalam kehidupan dunia berarti berharap untuk
mendapatkan kesejahteraaan yang baik, seperti rizki yang banyak, kedudukan yang
tinggi, menjadi orang yang berkuasa. Untuk mencapai hal ini orang harus bekerja
keras dengan cara yang halal. Orang yang tidak mau berikhtiar, tetapi
mengharapkan taraf kehidupan yang baik
tidak disebut dengan raja’, tetapi tamanni (berangan-angan). Orang ahrus
memiliki raja’ dan tidak boleh tamanni.
Kemudian mengenai empati dalam tasawuf ada itsar. Itsar adalah
mendahulukan dan mengutamakan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri
sendiri. Karena itu, itsar lebih sekedar empati, yaitu lebih dari sekedar
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Lalu tentang keterampilan social dalam tasawuf ada konsep syaja’ah.
Secara harfiah syaja’ah berarti berani, meaksudnya berani melakukan tindakan
yang benar. Tetapi sikap berani harus disertai pertimbangan yang matang dan
pikiran yang tenang. Hal ini sesuai dengan ucapan Nabi Muhammad:
“Bukanlah
pemberani orang yang kuat berkelahi sesungguhnya pemberani itu adalah orang
yang sanggup menguasai hawa nafsunya di akalah marah”. (HR. BukharidanMuslim)
Sikap berani dapat dilihat pada stabilnya pikiran seseorang ketika
menghadapi bahaya. Ia tetap melakukan pekerjaan dengan hati yang teguh dan akal
yang sehat serta tidak gentar menghadapi ancaman dan celaan sebagai konsekuensi tindakannya. Hal ini sudah
dipraktekkan oleh Nbi Muhammad SAW dan para sahabatnya ketika menyebakan Islam.
Dengan demikian, unsure-unsur kecerdasan emosional juga ada dalam tasawuf,
sehingga orang yang mengamalkan tasawuf dengan baik, maka ia juga cerdas secara emosional.
C.
Tasawuf
dan Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual menurut Marsha Sinetar, adalah pikiran yang
mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, the is-ness
atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian.
Sedang Khalil Kavari mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai
fakultas dari dimensi nonmaterial atauu rh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita
semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya
hingga mengkilap dengan tekad yang besar dan mengunakannya untuk meperoleh
kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya kecerdasan spiritual
dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Tetapi kemmapuannya untuk ditingkatkan
tampaknya tidak terbatas.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, cirri atau karakteristik kecerdasan
spiritual ialah:
1.
Mengenal
motif kita yang paling dalam
Motif
yang paling dalam terdapat dalam diri kita. Dalam islam motif yang paling dalam
ialah fitrah, karena Tuhan memasukkan ke dalam hati yang paling dalam
suatu rasa kasih saying kepada sesama. Kita selalu bergerak didorong oleh motif
kasih saying ini.
2.
Memiliki
tingkat kesadaran yang tinggi (self awareness)
Dia
memiliki tingakat kesadaran berarti dia mengenal dirinya dengan baik, dan
selalu ada upaya untuk mengenal dirinya lebih dalam. Jadi, orang yang tingkat
kecerdasan spiritualnya tinggi adalah orang yang mengenal dirinya lebih baik.
3.
Bersikap
responsive pada diri yang dalam
Ia
sering melakukan refleksi dan mau mendengarkan dirinya. Kesibukan sehari-hari
sering membuat orang tidak sempat mendengarkan hati nurani sendiri. Orang
biasanya mau mendengarkanhati nuraninya kalau ditimpa musibah.
4.
Dapat
memanfaatkan dan mentransendenkan kesulitan atau penderitaan
Orang
biasanya mau menghayati dirinya lebih dalam ketika menghadapi kesulitan atau
penderitaan. Jadi, penderitaan bisa membawa kepada peningkatan kecerdasan
spiritual. Orang yang cerdas secara spiritual sewaktu mengalami penderitaan
tidak pernah mencari kambing hitam, tetapi mengambil hikmah dari penderitaan
itu.
5.
Sanggup
berdiri menentang dan berbeda dengan orang banyak
Manusia
cenderung mengikuti trend arus massa. Misalnya orang cenderung mengikuti model
pakaian, rambut dan lain-lain yang sedang banyak diminati. Hal ini secara
spiritual disebut tidak cerdas. Yang disebut cerdas adalah berani berbeda atau
kalau perlu maelawan arus massa jika hal itu dianggap tidak bermanfaat.
6.
Enggan
mengganggu atau menyakiti
Bahwa
alam semesta ini merupakan sebuah kesatuan, sehingga kalau mengganggu alam atau
manusia, maka akhirnya gangguan itu akan menimpa dirinya. Misalnya kalau
membuang sampah sembarangan, maka alam akan mengganggu dia dengan mendatangkan
penyakit atau abnjir. Begitu pula kalau merampas hak-hak orang lain, maka suatu
saat itu akan balik menyakiti. Jadi, ciri kecerdasan spiritual adalah enggan
menimbulkan gangguan dan kerusakan kepada alam dan manusia di sekitarnya.
7.
Mempermalukan
agama secara cerdas
Maksudnya
dia beragama, menganut suatu agama, tetapi tidak menyerang orang yang beragama
lain. Kalau dia menganut satu madzhab atau paham dalam agamanya tidak menyerang
orang yang mengaut madzhab atau paham yang lain dalam agamanya. Orang yang menyerang orang yang beragama atau
madzhab lain tidak cerdas secara spiritual.
8.
Mempermalukan
kematian secara cerdas
Maksudnya
memandang kematian sebagai peiristiwa yang harus dialami oleh setiap orang.
Kematian sering meninggalkan penderitaan bagi orang yang ditinggalkan, tetapi
malah kadang-kadang mengakhiri penderitaan bagi yang bersangkutan dan orang
banyak. Misalnya mantan Presiden Soeharto masih sering didemo oleh mahasiswa,
sehingga menimbulkan penderitaan karena sering bentrok dengan aparat keamanan.
Tetapi kalau dia sudah meninggal mungkin dia tidak didemo lagi.
Dilihat dari
perspektif sufistik ciri-ciri kecerdasan spiritual itu juga terdapat dalam
tasawuf. Misalnya motif yang dalam, kesadaran yang tinggi, dan sikap responsifang
terhadap diri menurut tasawuf dapat diwujudkan dengan berbagai cara, seperti tafakkur
dan uzlah.
Tafakkur berarti
perenungan, yaitu merenungkan ciptaan Allah, kekuasaannya yang nyata dan
tersembunyi serta kebesarannya di langit dan bumi. Tafakkur sebaiknya dilakukan
setiap hari, terutama pada tengah malam.
Karena tengah malam merupakan saat yang paling baik, lengang, jernih, dan tepat
untuk penyuciaan jiwa. Ketika bertakafur kita dianjurkan untuk merenungkan
karunia, kemurahan dan nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah. Tafakkur mengenai
nikmat Allah akan mendorong kita untuk selalu mensyukuri dan menyibukkan diri
dengan ibadah dan amal saleh sebagai
wujud kecintaan kepada Allah. Kita juga dianjurkan bertakaffur mengenai
kefanaan kehidupan dunia dan kekalnya
kehidupan akhirat. Takaffur seperti ini mendorong sikap Zuhud
terhadap dunia dan kecintaan kepada akhirat.
Kemudiaan ciri-ciri
kecerdasan spiritual tadi menurut tasawuf
juga dikembangkan dengan cara uzlah. Uzlah berarti mengasingkan diri
dari pergaulan dari masyarakat untuk menghindari maksiat dan kejahatan serta
melatih jiwa dengan melakukan ibadah, zikir, do’a dan tafakkur tentang kebesaran
Allah dalam mendekatkan diri kepadanya.
Ciri kecerdasan
spiritual tentang kemampuaan mentransedenkan penderitaan menurut tasawuf dapat
dilakukan misalnya dengan sikap tawakal
dan ridha. Tawakal berarti berserah diri kepada keputusan Allah, terutama kita
melakukan suatu pertbuatan atau ikhtiar. Jadi, tawakal harus didahului oleh
ikhtiar untuk memenuhi suatu keperluan. Misaluntuk hidup layak maka orang harus
bekerja keras melakukan pekerjaan yang halal. Bagaimana hasilnya, sukses atau
gagal, bahagia atau sengsara, sepenuhnya diserahkan kepada Allah.
Ridha berarti
senang, manksudnya senang menjadikan Allah sebagai Tuhan, senang kepada ajaran
dan takdirnya, bahagia atau sengsara. Orang yang telah mencintai Allah akan
senang dengan segala hal yang datang dari Allah,termasuk cobaan hidup, seperti
penderitaan.
Lalu kecerdasan
spiritual tentang kemampuan menentang atau berbeda dengan orang banyak dapat
dikembangkan dengan sikap syaja’ah. Syaja’ah berarti berani, mangsudnya berani
melakukan tindakan yang benar walaupun
harus menanggung risiko yang berat. Ini sesuai dengan ungkapan yang mengatakan
“berani karena benar, takut karena salah”. [3]
Orang-orang yang mengaktualisasikan diri menurut Abraham Maslow
disebut “kemerdekaan psikologis” mereka mampu mengambil keputusan-keputusan
mereka sendiri, sekalipun melawan penapat khalayak ramai.[4]
Kemudiaan ciri
kecerdasan spiritual tentang keenggangan
mengganggu dan menyakiti ada kesamaannya dengan sikap shidiq dalam tasawuf.
Shidiq berarti benar dan jujur, maksudnya benar dan jujur dalam perkataan dan
perbuatan. Membiasakan sikap benar merupakan salah satu cara mendekatkan diri
kepada Tuhan, dan bersikap benar juga merupakan nilai hidup yang sangat penting
dalam hubungan sesama manusia dan alam, sekaligus menjadi sendi kemajuaan
manusia sebagai pribadi dan kelompok.
Mengenai ciri
kecerdasan spiritual tentang memperlakukan agama secara cerdas ini sesuai
dengan tasawuf, karena tasawuf
mengajarkan dimensi isoteris (batiniah) agama, yaitu perbuatan hati
seperti sabar, ikhlas,sederhana, adil, dan semacamnya. Perbuatan hati bersifat
sabar, ikhlas, sederhana, adil dan seemacamnya. Perbuatan hati bersifat
universal melintasi batas-batas agama.
Akhirnya, ciri
kecerdasan spiritual tentang memperlakukan kematiaan secara cerdas ini juga sesuai
dengan ajaran tasawuf dengan berdasarkan
Al-Qur’an dan hadits tasawuf
mengajarkan bahwa kematiaan harus diingat, karena kematiaan itu pasti akan
dialami oleh setiap orang. Kematian harus selalu diingat supaya orang
beribadah, beramal saleh, serta menjahui perbuatan maksiat dan kejahatan. Kalau
lupa mati biasanya membuat oarang lupa pada ibadah, amal shaleh serta cenderung
berbuat maksiat dan kejahatan.
Dengan demikian,
ciri-ciri kecerdasan piritual juga tertdapat dalanm tasawuf, sehingga orang
yang menjalankan tasawuf dengan baik, maka ia juga cerdas secara spiritual.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Hubungan
Tasawuf dengan Psikologi
Persamaan antara tasawuf dengan psikologi. Tasawuf merupakan bidang
kajiaan islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan dalam bentuk tingkah laku
manusia dengan lebih mengonsentrasikan kebersihan jiwa dengan pendekatan diri
kepada Tuhan melalui berbagai Ibadah. Sedangkan psikologi adalah ilmu sosial yang membahas gejala kejiwaan,
tetapi tidak membahas jiwa itu sendiri. Psikologi lebih banyak menggunakan
teori-teori dengan berbagai solusi diluar konteks ibadah atau zikir yang
dikenal dalam tasawuf.
2.
Tasawuf
dan Kecerdasan emosional
Kecerdasan
emosional merupakan kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan
keterampilan sosial. Dilihat dari perspektif sufistik kecerdasan emosional juga
ada dalam tasawuf, misalnya muhasabah (perhitungan terhadap diri sendiri
mengenai perbuatan baik dan buruk yang pernha dilakukan).
3.
Tasawuf
dan Kecerdasan spiritual
Kecerdasan
spiritual merupakan suatu kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan
tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan
lebih kaya, serta lebih bermakna. Dilihat
dari perspektif sufistik ciri-ciri kecerdasan spiritual jugaada dalam tasawuf,
misalnya motif yang dalam, kesadaran yang tingi, dan sikap responsif terhadap
diri.
D. Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca kami mengharapkan saran dan
kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang
hati demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Syukur, menggugat Tasawuf,
Pustaka pelajar, Yogyakarta:1999.
Islamudin,
Haryu. Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Peajar, 2012.
Muhammad Hasyim, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi,
Pustaka pelajar, Yogyakarta:2002.
M.
Solihin dan Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka setia; Bandung, 2011.
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif,
Prenada Media Group, Bogor:2003.
Tamami HAG, Psikologi Tasawuf,
Pustaka Setia, Bandung:2011.
[1]Tamami HAG,
Psikologi Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung:2011, hal 38
[2] Sudirman
Tebba, Tasawuf Positif, Prenada Media Group, Bogor:2003, hal 61
[3] Ibid,
hal 11-17
[4] Muhammad
Hasyim, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka pelajar,
Yogyakarta:2002, hal 12
[5] Op.
Cit. Sudirman Tebba, hal 19-27
Comments
Post a Comment