Mal Manqul dan Mal Ghairul Manqul

Mal Manqul dan Mal Ghairul Manqul


BAB I

1.      Pendahuluan

Harta merupakan keperluaan hidup yang sangat penting dan ia merupakan salah satu dari perhiasan kehidupan dunia. Artinya hanya dengan sedikit harta atau tanpa harta seseorang akan mengalami kesulitan dalam kehidupan ini. Karena ia sangat penting maka manusia diperintahkan agar bertebaran di muka bumi ini untuk mendapatkan karunia Allah melalui bekerja. Harta juga merupakan sarana yang diperlukan untuk mempersiapkan bekal bagi kehidupan akhirat.
Harta (al-maal) merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, unsur dlaruri yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dengan harta, manusia bisa memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materi ataupun immateri. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan horizontal antar manusia (mu'amalah), karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna dan dapat memenuhi kebutuhanna sendiri, akan tetapi saling membutuhkan terkait dengan manusia lainnya.
Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai obyek transaksi, harta bisa dijadikan sebagai obyek dalam transaksi jual beli, sewa-menyewa, partnership (kontrak kerjasama), atau transaksi ekonomi lainnya.
Sehingga harta di bagi menjadi beberapa jenis, di antaranya: Mal al-’Uqar dan Mal Ghairul ’Uqar, Mal Mutaqawwin dan Ghairu Mutaqawwin, Mal Misliy dan Mal Qimity dan lainnya.
2.      Rumusan masalah
a.       Mengetahui apa itu Mal Manqul dan Mal Ghairul Manqul ?
b.      Apa saja konsekuensi hukum Mal Manqul dan Mal Ghairul Manqul?

3.      Tujuan
a.       Tujuan Umum: Agar mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang (Mal Manqul dan Mal Ghairul Manqul)
b.      Tujuan Khusus:
                                   i.      mahasiswa mampu memahami (Mal Manqul dan Mal Ghairul Manqul),
                                 ii.      Agar mahasiswa mampu dan mengetahui hal - hal yang berkaitan dengan (Mal Manqul dan Mal Ghairul Manqul).


BAB II

A.    Pengertian Harta
Istilah Harta, atau al-Mâl dalam al-Qurân maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu, sehingga pengertian al-Mâl sangat luas dan selalu berkembang. Pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase:
تمو، لت تموّ، ملت، مول
Sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya: “sebaik-baik maal ialah yang berada pada orang yang saleh”. (Bukhari dan Muslim)
Harta dalam kamus besar Indonesia disebutkan bahwa harta adalah barang atau uang yang menjadi kekayaan; barang milik seseorang atau kekayaan berwujud dan tak berwujud bernilai dan menurut hukum dimiliki perusahaan.
Pengertian harta secara istilah (terminologi), menurut definisi harta yang berkembang dikalangan fuqaha Hanafiyah, sebagai berikut:
 مايميل إليه طبع الانسان ويمكن ادخاره إلى وقت الحاجة
“ segala sesuatu yang naluri manusia cenderung kepadanya dan dapat disimpan batas waktu yang diperlukan”.
Pendapat ini mensyaratkan dua unsur yang harus terdapat dalam al-maal;
·         Dimungkinkan untuk dimiliki, disimpan, dengan demikian al-maal harus bersifat tangible.
·         Secara lumrah (wajar), dimungkinkan untuk diambil manfaat.
·         Selain itu, kemanfaatan yang ada pada sesuatu itu haruslah merupakan manfaat yang secara umum dapat diterima masyarakat.
Adapun konsep harta yang berkembang dikalangan jumhur fuqaha mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah adalah:
مايميل اليه الطبع ويجري فيه البدل والمنع
“ sesuatu yang naluri manusia cenderung kepadanya dan dapat diserah terimakan dan orang lain terhalang mempergunakannya”.
Definisi harta yang disampaikan oleh fuqaha mutaahhirin, antara lain disampaikan oleh Musathafa Ahmad al-Zarqa:
المال هو كل عين ذات قيمة مادية متدا ولة بين الناس
“setiap materi (‘ain) yang mempunyai nilai yang beredar di kalangan manusia”
Muhammad Syalabi menyampaikan pengertian sebagai berikut:
مايمكن حيازته و احرازه و الإنتفاع به انتفاعا معتا دا
Sesuatu yang dapat dikuasai, dapat disimpan serta dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan”.
Dari beberapa pengertian yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa unsure harta ada 4, yaitu:
1.      Bersifat materi (‘aniyah), atau mempunyai wujud nyata.
2.      Dapat disimpan untuk dimuliki (qabilan lit-tamlik)
3.      Dapat dimanfaatkan (qabilan lil-intifa’)
4.      Uruf (adat atau kebiasaan) masyarakat memandangnya sebagai harta.
Oleh karenanya, ada beberapa hal yang mesti dicamkan oleh umat Islam dalam menyikapi harta benda, yaitu:
1.      Harta adalah anugerah dari Allah yang harus disyukuri.
2.      Harta adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggung jawabkan.
3.      Harta adalah ujian
4.      Harta adalah hiasan hidup yang harus diwaspadai.
5.      Harta adalah bekal beribadah.

B.     Kedudukan harta dalam Islam
Pada Al-Qur’an surat al-Kahfi: 46, yang berbunyi:
المَال والبنون زينة الحياة الدنيا والباقيات الصالحات خير عند ربك ثوابا وخير أملا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.
Dijelaskan bahwa kebutuhan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadapanak atau keturunan, maka kebutuhan manusia terhadap harta merupakan kebutuhan yang mendasar.


C.     Pembagian harta
Menurut Fuqaha, harta dapat ditinjau dari beberapa segi. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut:
1.      Mal Mutaqawwim dan ghair mutaqawwim
2.      Mal Mitsli dan Mal Qimi
3.      Harta Istihlak dan harta Isti’mal
4.      Mal Manqul dan Mal Ghairul Manqul
5.      Harta ‘Ain dan harta Dayn
6.      Mal al-‘ain dan mal al-naf’i
7.      Harta Mamluk, mubah dan mahjur
8.      Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
9.      Harta pokok dan harta hasil
10.  Harta khas dan harta ‘am

D.    Fungsi Harta
Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat harta tersebut, maka fungsi harta amat banyak, baik kegunaan dalam yang baik, maupun kegunaan dalam hal yang jelek, yaitu:
a.       Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas.
b.      Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah
c.       Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat
d.      Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu
e.       Untuk memutar (mentasharufkan) peranan-peranan kehidupan
f.       Untuk menumbuhkan silaturrahmi.
g.      Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode selanjutnya.

BAB III

A.    Pengertian Mal Manqul dan Mal Ghairul Manqul
1.      Mal Manqul
Menurut Hanafiyah, manqul adalah harta yang memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat lainnya, baik bentuk fisiknya (dzat atau ‘ain) berubah atau tidak, dengan adanya perpindahan tersebut.
Menurut ulama mazhab Malikiyah cenderung mempersempit makna manqul, menurut Malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan atau ditransfer dari suatu tempat ke tempat lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik semula.
Harta manqul ialah:
كُلُّ مَايُمْكِنُ نُقْلُهُ وَتَحْو يْلُهُ مِنْ مَكَانٍ إِلَى أَخَرَ
“ segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu ketempat lain”.
Seperti mas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan, dan lain sebagainya.
2.      Ghairul Manqul
Menurut Hanafiyah, ghairul manqul adalah harta yang tidak bisa dipindahkan dari suatu tempat ketempat lainnya.
Menurut ulama mazhab Malikiyah cenderung memperluas makna ghairul manqul, menurut Malikiyah, ghairul manqul adalah harta yang secara asal tidak mungkin bisa dipindahkan atau ditransfer, atau mungkin dapat dipindahkan, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya.
Harta ghairul manqul ialah:
مَالاَ يُمْكِنُ نَقْلُهُ وَ تَحْوِ يْلُهُ مِنْ مَكَانٍ إِلَى أَخَرَ
”sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya”.
Seperti kebun, rumah, pabrik, sawah dan lainnya.

B.     Konsekuensi hukum mal manqul dan mal ghairul manqul
Dengan adanya perbedaan harta mengakibatkan beberapa konsekuensi hukum, antara lain:
1.      Hubungan ketetanggaan terhadap mal ghairul manqul menimbulkan hak syuf’ah, yakni hak prioritas seorang tetangga dekat untuk membeli mal ghairul manqul, sebelum pemilik berkehendak menjualnya kepada orang lain. Hak prioritas eperti ini tidak terdapat pada mal manqul.
2.      Menurut Hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk di waqafkan adalah harta ghaurul manqul. Harta manqul diperbolehkan jika menempel atau ikut terhadap harta ghairul manqul, seperti mewakafkan tanah serta bangunan, perabotan, dan segala sesuatu yang terdapat diatasnya. Menurut fuqaha jumhur semua jenis benda baik bergerak maupun benda tidak bergerak dapat dijadikan sebagai obyek wakaf.
3.      Seorang wali tidak boleh menjual harta ghairul manqul atas orang yang berada dalam tanggungannya, kecuali mendapat alasan yang dibenarkan syara’, seperti untuk membayar hutang. Alangkah baiknya jika harta manqul yang lebih diprioritaskan untuk dijual, karena harta ghairul manqul diyakini memiliki kemaslahatan lebih besar bagi pemiliknya, jadi tidak mudah untuk dijual.
4.      Dalam hal ghasab. Menurut Abu Hanifah dan Abu yusuf ghasab tidak mungkin dilakukan terhadap harta tidak bergerak, karena harta jenis ini tidak dapat dipindahkan. Salah satu persyaratan ghasab menurut mereka adalah barang tersebut harus dikuasai dan dipindahkan oleh orang yang melakukan ghasab. Selain itu mengambil manfaat benda tidak bergerak tanpa seizin pemiliknya tidak dapat dikatakan sebagai ghasab, karena menurut mereka manfaat tidak termasuk unsure harta. Sedangkan menurut jumhur fuqaha’ ghasab bisa terjadi pada benda tidak bergerak. Karena manfaat merupakan unsur terpenting dalam harta.
5.      Dalam transaksi jual beli. Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu yusuf, pembeli harta tidak bergerak berhak memanfaatkannya meskipun belum ada kekuasaan atasnya disebabkan belum dilakukan penyerahan atasnya. Sedangkan menurut Imam Syafi’I pembeli tidak dibenarkan memanfaatkannya sebelum dilakukan penyerahan. Sedng jual beli terhadap harta yang bergerak fuqaha sepakat pihak pembeli tidak berhak memanfaatkannya sebelum dilakukan penyerahan. Hal ini dikarenakan benda bergerak mudah mengalami kerusakan atau cacat yang dapat mempengaruhi keabsahan transaksi jual beli.
6.      Dalam kasus taflis atau pailit. Penjualan secara lelang untuk melunasi hutang-hutang terhadap harta benda seorang muflis (orang yang secara hukum ditetapkan dalam kondisi pailit) harus melakukan terlebih dahulu terhadap harta bergerak. Apabila tidak mencukupi barulah hal yang sama dilakukan terhadap harta tidak begerak.

BAB IV

KESINPULAN

Pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Harta dalam kamus besar Indonesia disebutkan bahwa harta adalah barang atau uang yang menjadi kekayaan; barang milik seseorang atau kekayaan berwujud dan tak berwujud bernilai dan menurut hukum dimiliki perusahaan.
Kedudukan harta dalam Islam, bahwa kebutuhan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadapanak atau keturunan, maka kebutuhan manusia terhadap harta merupakan kebutuhan yang mendasar.
Menurut Fuqaha, harta dapat ditinjau dari beberapa segi. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut:
1.      Mal Mutaqawwim dan ghair mutaqawwim
2.      Mal Mitsli dan Mal Qimi
3.      Harta Istihlak dan harta Isti’mal
4.      Mal Manqul dan Mal Ghairul Manqul
5.      Harta ‘Ain dan harta Dayn
6.      Mal al-‘ain dan mal al-naf’i
7.      Harta Mamluk, mubah dan mahjur
8.      Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
9.      Harta pokok dan harta hasil
10.  Harta khas dan harta ‘am
Fungsi harta, diantaranya:
a.       Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas.
b.      Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah
c.       Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat
d.      Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu
e.       Untuk memutar (mentasharufkan) peranan-peranan kehidupan
f.       Untuk menumbuhkan silaturrahmi.
g.      Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode selanjutnya.
Harta manqul adalah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu ketempat lain. Sedangkan harta ghairul manqul adalah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya.
Konsekuensi hukunnya, diantaranya:
1.      Hubungan ketetanggaan terhadap mal ghairul manqul menimbulkan hak syuf’ah
2.      Dalam hal wakaf
3.      Dalam hal menjual harta yang diwalikan oleh walinya
4.      Dalam hal ghasab
5.      Dalam transaksi jual beli
6.      Dalam kasus taflis atau pailit.
DAFTAR PUSTAKA

·         Mas’adi, Ghufron A, Fiqh Muamalah Kontekstual, Ed. 1, Cet. 1,. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
·         Suhendi, Hendi, fiqh muamalah, Ed. 1, Cet. 6,. Jakarta: Rajawali Pers, 2010

Comments

Popular posts from this blog

PIDATO IDIOLOGI WANITA SHOLEHAH

PPKN Kelas 5 ( (keragaman sosial budaya Masyarakat)

Pengertian IAD , ISD dan IBD