HAK – HAK DALAM ISLAM DAN MACAMNYA
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT tidak hanya diperintahkan untuk beribadah kepada Allah semata. Dalam pada itu, manusia juga diberikan tugas oleh Allah SWT untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan hidupnya di muka bumi. Tugas ini memang tidak mudah, namun Allah SWT telah membuat sebuah sistem yang berfungsi sebagai pedoman dan pengantur bagi manusia untuk memelihara kesejahteraan hidupnya di muka bumi. Sistem ini bernama Din Islam.
Agama Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sistem ini tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah SWT, atau yang sering disebut hubungan vertikal. Namun, lebih dari itu agama islam sebagai sebuah sistem juga mengatur hubungan antar sesama manusia dan seluruh ciptaan Allah SWT, misalnya tumbuhan dan hewan.
Dalam Islam, hubungan antar sesama manusia(hubungan horizontal) di bahas dalam ilmu fiqh ( baca : fiqh muamalat ). Contohnya, tentang konsep hak dalam islam. Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikan kata hak . Menurut Ali al-khafif hak adalah kemaslahatan yang diperoleh secara syara, sedangkan Mustafa Ahmad az-Zarqa’ menyatakan bahwa hak dalah suatu kekhususan yang padanya (hak kekhususan tersebut ) ditetapkan oleh syara’ sebagi suatu kekuasaan. Adapun perbedaan timbul disebabkan oleh pemahaman mereka dalam menafsirkan nash–yang berhubungan dengan hak–berlainan.
Pembahasan seputar konsep hak dalam Islam tidak terlepas dari pembahasan tentang kepemilikan, ketetapan atau kekuasaan terhadap harta ataupun bukan harta. Dari pernyataan tersebut timbul dua pertanyaan, pertama apakah benar bahwa hak hanya terbatas pada kekuasaan, kepemilikan atau kekuasaan terhadap sesuatu? Kedua, siapakah sebenarnya pemilik dari hak itu sendiri ?
II . RUMUSAN MASALAH
Adapun hal yang akan dibahas dalam makalah ini akan kami rumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Asal Usul Hak Dalam Islam?
2. Apa Pengertian Hak Dalam Islam?
3. Apa Saja Macam – Macam Hak Dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Hak
Manusia memulai penghidupannya secarabermasyarakat dan belum tumbuh hubungan antara seorang dengan yang lainnya, maka belum ada pula apa yang kita namakan hak. Setiap manusia hidup bermasyarakat,bertolong menolong dalam menghadapi berbagai macam kebutuhanitu, seseorang perlu mencari mencari apa yang dibutuhkannya, dari alam atau milik orang lain. Dari sinilah timbul pertentangan – pertentangan kehendak. Maka untuk memelihara kepentingan masing – masing perlu adanya norma yang mengatur sehingga tidak melanggar hak orang lain.
Fiqih islam telah menetapkan beberapa tata aturan , beberapa hukum, baik yang merupakan dasar maupun yang merupakan cabang dengan cara yang sangat sempurna yang belum pernah dikenal oleh tasyri’- tasyri’ yang lain.
B. .Pengertian Hak
Hak mempunyai dua makna yang asasi.pertama
“sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur dasar – dasar yang harus di taati dalam hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang, maupun mengenai harta”.
yang kedua
لغيره شخص على يجب ما او الشئ على السلطة
“kekuasaan menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang bagi selainnya”.
Maka inilah yang kita maksudkan diwaktu kita mengatakan ‘Maghsub minhu’ memepunyai hak meminta kembali hartanya kalau masih utuh atau meminta harganya kalau barangnya telah rusak. Demikian pula si pembeli mempunyai hak mengembalikan barang yang dibeli yang ada cacatnya.
Hak-hak bermakna inilah yang menjadi maudhu’ studi kita sekarang ini kemudian hak ini mempunyai pengertian yang umum dan masuk kedalam pengertian beberapa hak dan beberapa macam bagiannya. Hak menurut pengertian umum.
احتصا ص يفرربه السرع سلطة او تكليفا
“Suatu ketentuan yang dengan syara’ menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum”
Ini merupakan kekuasaan orang atas orang. Contohnya seperti hak si penjual menagih harga. Ini merupakan suatu beban atau yang kedua untuk kemaslahatan yang pertama.
Untuk menjelaskan takrif ini kita mengatakan bahwa ikhtishashadalah suatu hubungan yang melengkapi hak yang obyeknya harta dan melengkapi sulthah, seperti wali dan wakil dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.[1]
Dengan demikian, keluarga alaqah yang tidak mempunyaiikhtishash, seperti mencari kayu api, berburu dan pindah daerah yang kita kehendaki tidak dinamakan hak tetapi apabila seseorang diberikan kepadanya suatu keistimewaan misalnya dalam berburu, itu boleh dinamakan hak. Dalam hal ini menurut fiqh islam diperlukan ketetapan-ketetapan syara’ dan persetujuan dari syara’ karena pandangan-pandangan syara’lah yang menjadi dasar. Maka apa yang dipandang syara’ sebagai hak, menjadilah hak dan apa yang tak dipandang oleh syara’ menjadi hak, tidaklah dia menjadi hak. Hak ini adakala menjadi sulthah, adakala menjadi taklif.
1. Sulthah
Sulthah terbagi menjadi dua yaitu , Sulthah ‘ala syakshhinatau sulthah ‘ala al nafsi dan Sulthah ‘ala syai-in mu’ayyanin.
Sulthah ‘alan nafsi, ialah: hak seseorang terhadap jiwa. sepertihaqul wilayati ‘alan nafsi, yaitu hak wali
Sulthah ‘ala syai-in mu’ayyanin adalah seperti hak-hak milkiyah, hak manusia menguasai sesuatu, seperti hak tamalluk dan hak memanfaatkan suatu benda, hak wilayah (perwalian) atas harta.
2. Taklif
Taklif adalah orang bertanggung jawab. Dan taklif ini adakalanya merupakan ahdan syakhshiyah (tanggungan pribadi), seperti buruh menjalankan tugasnya, adakalanyaahdah maliyah seperti membayar hutang. Kedua-duanya dapat dikatakan taklif.
Oleh karena hak merupakan sulthah dan taklif tempatnya ialah orang dan benda. Yang menjadikan hak bagi seseorang merupakan kekuasaan baginya terhadap haknya, dan menjadi taklif atas lainnya.
Takrif hak yang tersebut ini mencakup segala macam hak madani. Termasuk di dalamnya hak dini, seperti shalat, shiyam, dan lain-lain. Juga hak adabi seperti hak taat kepada orang tu, hak taat kepada suami dan istrinya, termasuk juga hak-hak wilayah ‘ammah dalam memelihara keamanan, membasmi kemaksiatan menyuruh makruf, mencegah munkar, jihad dan mengembangkan agama.
Semua itu adakalanya merupakan sulthah yang dimiliki oleh orang yang memperoleh sulthah dari syara’, adakalanya merupakan taklif yang harus dilaksakan oleh orang yang dibebani perbuatan itu.
Dengan penjelasan ini nyatalah bahwa hak menurut pengertian istilah tidak mencakup benda-benda yang dimiliki yang tak ada padanya sulthah atau taklif.
Para fuqaha menyebutkan hak ini sebagai imbangan dari benda atau a’yan, sedang ulama Hanafiyah menjadikan hak imbang harta. Mereka mengatakan bahwa hak itu bukan harta (innal haqqa laisa bimalin).[2]
C. Macam – Macam Hak Dalam Islam
1. Taqsimul haqqi
Hak dalam pengertian yang umum dibagi menjadi dua bagian yang asasi, yaitu: malli dan ghairu mali.
ن والديو الاعيان كملكية لمال با يتعلق ما
Mali ialah: “ sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda-benda atau hutang-hutang”
Ghairu mali ialah: seperti hak wali. Hak ghairu mali ini dibagi menjadi dua, yaitu: Hak syakhsi dan Hak ‘aini.
a. Hak syakhsi
Hak syakhsi adalah
اخر على لشخص الشرع يقره مطلب
“ Suatu tuntutan yang di tetapkan syara’ dari seseorang terhadap orang lain”.
Tiap-tiap alaqah syar’iyah antara dua orang, maka salah seorang berfungsi mukallaf, ia harus melaksanakan sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan bagi yang lain, atau ia harus menghentikan pekerjaannya yang merugikan orang lain. Dalam istilah fiqh, dinamakan: hak syakhsi. Hak syakhsi ini merupakan iltizam atas orang yang dibebani pelaksanaannya.
Yang termasuk ‘alaqah ini, adalah segala macam ‘alaqah yang ditimbulkan oleh akad. Si penjual dinamakan multazim harus menyerahkan barang dan sipenjual berhak menerima harta, sebagaimana si musytari menjadi shahibu haqqi dalam menerima barang. Selalu ada timbal balik. Si penjual dapat dikatakan multazim, yaitu: orang yang harus menyerahkan barang dan si musytari juga dikatakan multazim, yaitu: orang yang harus menyerahkan harga.
Termaasuk pula dalam ‘alaqah ini, adalah yang ditimbulkan oleh perbuatan. Orang yang menimbulkan kemudaratan atas orang lain menjadi multazim dan harus mengganti kerugian orang tersebut. Jelasnya, yang mendatangkan kemudaratan dinamakan multazim, dan yang kena kemudaratan atas si madlrur dinamakan: shihibu haqqisy syakhshi, atau multazam lahu.
Termasuk juga di dalamnya alqah-alaqah yang ditetapkan oleh undang-undang (hakim), seperti nafakah kerabat yang fakir atas karibnya yang kaya. Fakir dalam hal ini dinamakan shahibu syakhshi, sedang si kaya dinamakanmultazim . itulah hubungan antara hak syakhshi dan iltizam.
b. Hak ‘aini
Hak aini adalah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa di butuhkan orang ke dua. Apabila ‘alaqah itu bukan antara dua orang, yang seorang mustahiq dan seorang lagi mukalaf, tetapi diantara orangdan benda tertentu dalam arti orang itu mempunyai sulthah langsung terhadap benda itu, maka alaqah ini dinamakan hak ‘aini,
Macam – macamnya yaitu seperti hak milkiyah. Dalam hak milkiyah ini tidaklah diperlukan ada orang, kedua, yang diperlukan orang dan bendanya. Dari memperhatikan apa yang dikatakan hak syakhshi dan hak ‘aini, dapat kita simpulkan:
a. Hak ‘aini memerlukan adanya benda yang tertentu yang dijadikan hak itu. Kalau tidak tertentu seperti membeli sejumlah makanan yang tidak ditentukan zatnya, gula, beras dan sebagainya maka menjadi obyek disini di masukkan kedalam bagian hutang, bukan hak ‘aini.
b. Apabila barang yang dirampas rusak ditangan si perampas, lalu yang empunya barang menuntut kepada si perampas harga barang yang dirusakkan, maka si perampas harus membayarnya. Hak yang demikian dinamakan hak syakhshi.
c. Tidak diperlukan ‘aini atau benda itu berada berada di tangan orang yang mempunyai hak, yang diperlukan kekuasaannya, terhadap benda atau barang itu, umpamanya barang wadi’ah yang di tangan si wadi’, barang yang dirampas yang ada di tangan si perampas, barang yang dicuri yang ada di tangan si pencuri. Ini semuanya dikatakan hak orang yang punya hak, walaupun harta itu tidak ada di tangan yang empunya hak.
Bagian-bagian Hak ‘Aini
Yang pertama, mempunyai wujud yang berdiri sendiri, yang berwujud dengan adanya shahibul haq dan benda tertentu, seperti hak milkiyah, hak irtifaq. Ini semua dikatakan asli.
Yang kedua, thab’i ialah: merupakan jaminan yang ditetapkan untuk seseorang yang menghutangkan uangnya atas yang berhutang, agar orang menehutangkan uang itu dapat menerima kembali. Apabila orang yang berhutang itu tak sanggup membayar, murtahinberhak menahan barang marhun. Hak ini tidaklah berdiri sendiri, ia mengikuti hutang lantaran ia hanyamerupakan jaminan, bahwa hutang itu akan dapat diperoleh kembali. Apabila hutang telah dibayar, atau dibebaskan dari membayar, maka hak menahan marhum tidak ada lagi. Hak dalam hal ini dikatakan hak thab’i bukan hak asli.
Hak ‘aini asli membolehkan shahibul hak menggunakan hak atu memakainya, mengusahakan hasilnya dan bertasharruf padanya. Apabila hak-hakini terkumpul, maka ia memberi kekuasaan penuh kepada shahibul haq. Hanya hak-hak yang ketiga ini terdapat pada hak milkiyah. Disamping hak milkiyah ada beberapa hak yang tidak memungkinkan shahibul haq merangkul ketiga hak ini, seperti hak isti’mal, hak intifa’, hak sukna, hak irtifaq.
Hak thab’i, tidak memungkinkan shahibul haq bertindak sesuka hatinya karena kekuasaannya terbatas. Dia berhak menjual barang jaminan, apabila si madin tidak sanggup membayar hutang.
Macam-macam hak ‘aini dan hak-hak yang serupa dengan ‘aini:
1. Haqqul milkiyah ialah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah.
2. Haqqul intifa’ ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan diusahakan hasilnya.
3. Haqqul irtifaq ialahak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas kebun yang lain,yang dimiliki bukan pemilik kebun yang pertama. Haqqul irtifaq menurut pandangan ahli fiqih masuk dalam milkul manfa’ah. Jelasnya pada hakikatnya ialah memiliki manfaat dari benda itu atau manfaat yang dikurangi dari pemilik kebun pertama untuk kepentinga pemilik kebun kedua. Oleh karenanya menggunakan manfaah ini tidak dibatasi untuk satu waktu atau untuk satu masa, tetapi terus tetap berlaku selama masih ada kebun itu,kecuali kalau orang yang mempunyai hak melepaskan haknya dengan jalan yang dapat dibenarkan syara'.[3]
4. Haqqul irtihan yaitu hak yang diperoleh dari harta gadai.
5. Haqqul ihtibas (haqqul waqaf ) ialah hak menahan sesuatu benda.
6. Haqqul qarar ( menetap ) atas tanah wakaf. Yang termasuk hak menetap atas tanah wakaf adalah :
a. Haq al hakr yaitu hak menetapdi atas tanah waqaf yang disewa, untuk waktu yang lama dengan seizin hakim.ada akad ijarah dalam waktu yang lama dengan seizin hakim atas tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan kedalam keadaan semula.
b. Haq al ijaratain yaitu hak yang diperoleh karena ada akad ijarah dalam waktu yang lama dengan seizin hakim atas tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan kedalam keadaan semula.
c. Haq al qadar yaitu hak menambah bangunan yang dilakukan oleh penyewa.
d. Haq al marshad yaitu hak mengawasi atau mengontrol.
BAB III
A. KESIMPULAN
Asal usul timbulnya hak dalam islam itu karena adanya berbagai macam kebutuhan dan kepentingan.agar tiadak terjadi pertentangan dan perampasan hak milik seseorang perlu adanya norma / aturan untuk membatasi kebutuhan manusia tersebut.
Hak milik adalah suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau sebelum hukum.
Macam – macam hak dalam islamsecara umum ada 2 yaitu hak mal dan hak ghoiru mal.sedangkan hak ghoirul mal terbagi atas 2 bagian yaitu syahshi dan hak aini.
B. PENUTUP
Demikianlah makalah ini dapat kami sampaikan dan tentunya kami pemakalah sebagai manusia biasa yang tak akan luput dari yang namanya kesalahan,maka saran konstruktif maupun kritik sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi,Sholikul.2011.Fiqih muamalah.Kudus : Nusa Media Enterprise.
Ash- Shiddieqy,Hasbi.2009.Pengantar Fiqih Muamalah.Semarang:Pustaka Rizki Putra
Comments
Post a Comment