TEORI NASKH



RESUME
TEORI NASKH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah  Ushul Fiqih
Dosen Pembimbing :  Drs. H. Yasin, M. Ag



Disusun Oleh:
Sulfiana Mufidah (1310110068)



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2014


TEORI  NASKH

            Secara harfiah naskh berarti, penghapusan atau pembatalan (annulment). Sebuah  perkataan lama Arab: نسخت الشمس الظل  yang artinya “matahari menghapuskan bayangan”.
Tetapi dalam fiqh klasik, apabila digunakan dalam konteks Qur’an ia memiliki tiga arti:
1.    Bahwa al-Qur’an membatalkan hukum yang dinyatakan dalam kitab-kitab Samawi yang terdahulu seperti Kitab  Perjanjiaan Lama dan Perjanjiaan Baru.
2.    Ia diterapkan pada penghapusan sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang teksnya telah dihapuskan dari eksistensinya.
·      Ayat-ayat yang baik teks maupun hukum yang terkandung di dalamnya  diduga telah dihapuskan.
·      Ayat-ayat yang hanya teksnya saja yang dipercayai telah dihapuskan tetapi hukumnya tetap berlaku.
3.    Ia berarti pencabutan sebagian dari perintah-perintah terdahulu itu masih tetap tekandung di dalam Al-Qur’an.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah, dalam perjuangan beliau yang keras menghadapi lawan-lawannya, seringkali cenderung kepada kompromi dengan mengakomodasi sejumlah pemintaan mereka, sudah tentu tanpa mengorbankan hal-hal yang pokok dalam islam. Qur’an sendiri memberi kesaksian tegas mengenai hal ini dan terus menerus memperingatkan beliau  untuk tidak menerima kompromi macam apapun. Sebuah pasasi dalam Al-Qur’an menyatakan: dan sesungguhnya mereka berusaha keras untuk memalingkan kamu(Muhammad) dari apa yang kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain dari pada itu dengan mengatasnamakan kami, dan kalau demikian mereka akan menerimamu sebagai sahabat. Seandainya kami tidak memperteguh hatimu,niscaya sudah akan sedikit cenderung kepada mereka. Dan kalau terjadi demikian, niscaya kami akan rasakan kepadamu (sisaan) berlipat ganda sesudah mati, kemudiaan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolongpun untuk menghadapi kami.  
Kisah ini ditemukan dalam biografi-biografi awal Rasulullah. Dikabarkan bahwa Rasulullah sekali waktu  berkeinginan agar turun sesuatu wahyu yang akan mendekatan orang-orang kafir kepada islam. Sementara itu Surah al-Najm diwahyukan kepada beliau. Kemudian beliau membacanya di hadapan pertemuan orang-orang kafir. Sewaktu pembacaan wahyu tersebut, dikatakan bahwa syaitan telah  menggoda beliau untuk mengucapkan kata-kata berikut: “sesungguhnya mereka (berhala-berhala) dalah perawan-perawan yang agung dan perentaraan mereka patut diharapkan”. Ketika sampai akhir surah, rasulullah telah lebih jauh dikabarkan telah bersujud dan orang-orang kafir juga mengikuti beliau. Dikabarkan hal ini memberikan rasa puas dikalangan banyak orang-orang kafir makkah. Sesudah itu jibril datang dan membatalkan wahyu dari ayat tersebut. Dikatakan bahwa ayat yang dikutib terdahulu diatas “ dan sesungguhnya mereka berusaha keras untuk memalingkan kamu...”diwahyukan karena kejadian ini. Dikabarkan bahwa Rasulullah sangat berduka-cita karenanya sampai ayat ini turun: “kami tak pernah mengutus utusan atau seorang nabi sebelum mu, kecuali bila ia menginginkan sesuatu, maka syaitan lalu menyisipkan godaan dalam keinginan itu.” Ayat ini dikabarkan telah membtalkan ayat yang berasal dari bisikan syaitan.
Sejumlah sarjana klasik seperti Musa bin Uqbah, Ibn Mardawayh dan Ibn Hajar al-Asqalani menganggap asli riwayat mengenai episode ini, karena menurut standard mereka, isnad matarantai periwayat) dari riwayat tersebut cukup kuat untuk menjamin keotentikannya. Akan tetapi, sebaliknya  justru pada saat yang sama riwayat tersebut dikritik  dengan pedasnya dan akhirnya ditolak oleh kelompok sarjana ulung lainnya yang setingkat pada masa klasik seperti al-Munzhiri, al-Bayhaqi, al-Qadhi Iyad, Fakhrudin al-Razi, al-Nawawi dan al-Ayni.  Sangat munkin bahwa riwayat ini dibuat-buat untuk mengukuhkan jenis ayat Qur’an yang seperti itu.
Sebelumnya kita telah menggarisbawahi kenyataan bahwa Rasulullah kadang-kadang tergoda untuk melakukan kompromi dengan musuh-musuh beliau. Kita telah mengutib ayat yang dengan jelas menyiratkan keinginan yang salah pada Rasulullah ini yang dimaksudnya demi kebehasilan perjuangannya. Dalam keadaan seperti inilah, yakni ketika beliau menginginkan kompromi tertentu, Qur’an mencegah untuk melakukannya, dan Qur’an memaksakan kehendaknya pada keinginan Rasulullah. Ayat Al-Qur’an yang terkenal, “janganlah kamu gerakan lidahmu untuk mempercepatnya (wahyu) (dan dengan demikian mendahului wahyu).
Akan tetapi, seluruh literatur theologi islam yang klasik  memiliki cacat mendasar, yakni mengabaikan aspek manusiawi dalam diri Rasulullah, termasuk diantaranya fenomena keinginan untuk berkompronmi, dan secara arti fisial menggambarkan beliau sebagai robot samawi. Bersumber dari pandangan yang seperti inilah maka soal-soal yang nyata yang ingin dikompromikan Nabi disembunyikan, tapi dilain pihak diciptakan cerita-cerita artifisial tertentu yang menggambarkan bahwa pada saat-saat tertentu beliau dikuasai oleh iblis dan kemudian lagi dikendalikan oleh tuhan. Cerita seperti ini kemungkinan besar hanya ciptaan saja, yang selanjutnya dibesar-besarkan dalam konteks ini.
Ketika para ahli tafsir dan ahli hukum tidak dapat mendamaikan ayat-ayat yang nampaknya bertentangan, merea lalu mengemukakan teori ini. Mereka menganggap ayat-ayat berikut ini mendukung teori tersebut:
1.      “apa saja ayat kami yang kami batalkan atau kami jadikan dilupakan, kami datangkan yang lebih baik atau yang setara dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu”?
2.      “dan mana kala kami gantikan satu wahyu untuk wahyu (yang lain), dan Allah lebih mengetahui apa yang diwahykanNya, mereka mengataka: sesungguhnya kamu hanya membuat-buat saja.”
3.      “Allah menghapus apa yang dikehendakiNya, dan mengukuhkan (apa yang dikehendakinya), dan padaNyalah induk segala kitab.”
Para arjana klasik menafsirkan ayat-yat in sebagai menyatakan bahwa sejumlah ayat Qur’an telah dihpuskan oleh ayat lainnya.
Kelompok mu’tazilah memberi justifikasi doktrin sifat diciptakannya Qur’an dengan dasar ayat  (2:106) mereka erpendapat bahwa karena Qur’an bisa dibatalkan, maka ia tidak munkin bersifat abadi. Tetapi satu kelompok dari mereka dikabarkan menolak teori pembatalan ini. Mereka menganggap tidak ada satu ayatpun dari Al-Qur’an yang telah dibatalkan.
Perubahan arti naskh dalam berbagai tahab perkembangan doktrin ini menjadi sebab sejumlah besar  kerancauan mengenainya. Sebagian dari para sahabat dan otorita-otorita yang awal dikabarkan telah menggunakan kata inidalam pengertian:
a.       Kekecualian
b.      Pengkhususan arti (takhsis)
c.       Penjelasan atas ayat sebelumnya.
Maka, apabila mereka mengatakan bahwa satu ayat tertentu adalah nasikh bagi ayat yang lain, manksudnya adalah ayat tersebut menerangkan dan menghapuskan salah pengertian yang dapat timbul dari bagian-bagian Al-Qur’an yang tertentu dengan membandigkanya dengan ayat sebelumnya yang berkaitan, mereka tidak bermaksud bahwa yang sbelumnya itu secara total dibatalkan dan dihapuskan kekuatannya oleh ayat yang datang kemudian. Diriwayatkan bahwa Ibn Abbas telah berkata bahwa ayat: barang siapa menghendaki  (kehidupan) yang segera (duniawi), kami segerakan baginya apa yang kami kehendaki untuk siapa saja yang kami kehendaki.” membatalkan ayat “..Barang siapa yang menghendaki kesenangan-kesenangan di dunia, kami berikan kepadanya sebagiaan dan ia tak akan memperoleh apapun di akhirat.” Dalam ayat-ayat  ini jelas bahwa melalui ungkapan: “siapa-siapa yang kami kehendaki”, ayat yang terdahulu membatasi ayat yang kemudian, yang bersifat umum.
Al-Syafi’i membahas masalah naskh secara panjang lebar dalam karyanya              al-risalah. Ia berbendapat bahwa perintah-perintah Al-Qur’an hanya dapat dibatalkan oleh Al-Quran saja, dan perintah-perintah sunnah juga hanya bisa dibatalkan oleh Sunnah saja.    Ia menentang pandangan bahwa sunnah dapat membatalka Al-Qur’an dan sebaliknya.          Ia berpendapat bahwa Rasulullah diperintah Alalh untuk mengikuti wahyu bukan untuk mengganti al-Qur’an dengan tangannya sendiri. Tetapi al-Syafi’i juga yakin bahwa tidak ada Sunnah Rasul yang bertentangan dengan al-Qur’an.karena sunnah merupakan perincian atas Al-Qur’an.
Dalam paragraf-paragraf terdahulu kita telah menganalisa teori klasik tentang pembatalan. Teori ini, sebagaimana telah kami tunjukan sebelumnya, bertentangan secara langsung dengan validsi abadi Qur’an.dari sin dapat disimpulkan bahwa perintah-perintah Qur’an yan dibatalkan adalah bersifat operatif-abadi sebelum dibatalkan, tetapi kehilangan keabadiaannya sebagai akiba pembatalan itu. Setelah dibatalkan,meskipun ayat-ayat tersebut masih ada didalam Al-Qur’an, namun dapat diyatakan bahwa kehadiran mereka dalam Qur’an tidak dapat dianggap sebagai  tanda keabadian kecuali apabila mereka membawa nilai-nilai praktis. Konsep keabadian Qur’an mensyaratkan bahwa semua huum-hukumnya harus tetap efektif untuk selamanya bagi umat islam. Dengan demikian, atas dasar kepercayaan in, tak ada dasar yang masukakal bagi thesis bahwa sejumlah ayat Qur’an telh dibatalkan.   

Comments

Popular posts from this blog

PIDATO IDIOLOGI WANITA SHOLEHAH

PPKN Kelas 5 ( (keragaman sosial budaya Masyarakat)

Pengertian IAD , ISD dan IBD