MAKALAH Daya Ikat Norma Hukum Islam Hasil Ijtihad
MAKALAH
Daya Ikat Norma
Hukum Islam Hasil Ijtihad
Diajukan untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pembimbing
: Drs. H. Yasin, M. Ag
Disusun Oleh : Kelompok 3
Nama : 1. Siti Fatimah (1310110067)
2. Sulfiana
Mufidah (1310110068)
3. Djesica Maharani
Haryanto (1310110069)
4. Anas Zakariya (1310110070)
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan mencurahkan segala kemampuan
intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Adapun ijtihad
dalam bidang putusan hakim(pengadilan) adalah jalan yang diikuti hakim dalam
menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang maupun dengan
mengistimbatkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.
Dengan demikian, ijtihad sebagai suatu prinsip
dan gerakan dianmis dalam kazanah islam, merupakan aktivitas daya nalar yang
dilakukan oleh para fuqaha(para mujtahidin) dalam menggali hukum islam.
Kegiatan ijtihad telah dimulai sejak masa Rasulullah dan akan terus berlanjut
sesuai dengan dinamika zaman.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan ijtihad ?
2. Bagaimana kedudukan norma hukum hasil ijtihad
?
3. Bagaimana daya ikat norma hukum hasil ijtihad
?
4. Bagaimana fase-fase mujtahid pada masa
sekarang ini?
5. Apa saja tingkatan-tingkatan mujtahid ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijtihad
Ijtihad secara term atau istilah
berasal dari akar kata jahada yang
berarti sungguh-sungguh. Oleh ahli ushul fiqh term ini diartikan sebagai sebuah
upaya sungguh-sungguh oleh seorang mujtahid atau lebih dalam proses mencari
norma istinbath terhadap suatu
perbuatan manusia dari dalil-dalil syariy’, baik perbuatan itu telah
dilaksanakan, sedang atau bahkan dalam prediksi. Jika ijtihad itu dilaksanakan
oleh seorang mujtahid, maka aktifitas itu disebutnya sebagai ijtihad fardy. Adapun jika kegiatan itu
dilakukan oleh beberapa orang mujtahid, disebutlah sebagai ijtihad jamaiy .[1]
B.
Kedudukan Norma Hukum Hasil Ijtihad
Untuk mengetahui kedudukan suatu norma hukum yang dihasilkan oleh
seseorang mujtahid dari ijtihadnya,
terlebih dahulu kita harus membahas secukupnya benar salah dalam berijtihad. Ketika norma hukum itu dianggap benar apakah ia mengikat seluruh
umat Islam di dunia ini. Selanjutnya apakah norma hukum hasil ijtihad itu dapat
dibatalkan norma hukum baru yang juga hasil ijtihad orang lain. Tiga hal inilah
yang akan diurai di bawah ini. [2]
1.
Antara benar dan salah
dalam ijtihad
Salah satu hadits yang menjadi rujukan dalam
permasalahan ini adalah hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan dalam Sahihain (dua kitab hadits utama, yang diriwayatkan
oleh imam
Bukhari dan imam Muslim, dan selain keduanya
yang mengatakan:
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي
الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا
حَكَمَ اَلْحَاكِمُ, فَاجْتَهَدَ, ثُمَّ أَصَابَ, فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا
حَكَمَ, فَاجْتَهَدَ, ثُمَّ أَخْطَأَ, فَلَهُ أَجْرٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Amar Ibnu Al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa ia mendengar
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seorang hakim
menghukum dan dengan kesungguhannya ia memperoleh kebenaran, maka baginya dua
pahala; apabila ia menghukum dan dengan kesungguhannya ia salah, maka baginya
satu pahala." Muttafaq Alaihi.[3]
Justifikasi hadis ini rupanya tidak cukup untuk membuka
pintu ijtihad dan menetapkan kebolehannya. Padahal hadis ini sangat menekankan
pentingnya ijtihad. Sungguh mengherankan ada orang-orang yang mempropagandakan
tertutupnya pintu ijtihad, padahal hadis Nabi ini menyatakan bahwa seorang
mujtahid yang benar mendapatkan pahala yang berlipat, dan seorang mujtahid yang
salah juga mendapatkan pahala.
Menurut logika akal, seharusnya seorang mujtahid yang tepat akan
mendapatkan pahala, dan seorang mujtahid
yang salah mendapatkan siksa, karena dalam kondisi yang biasanya terdapat
pemberian pahala, maka dalam kondisi sebaliknya adalah pemberian siksa. Atau mungkin saja seorang mujtahid yang salah
mendapat pengampunan, tanpa pahala dan siksa, dan ini adalah keadilan dan
penghormatan. Namun jika seorang mujtahid yang salah mendapatkan pahala, maka
ini adalah keberkahan dan rahmat yang
sangat mulia.
Hal
ini adalah jaminan bahwa seorang mujtahid
berhak untuk salah dan kesalahan ini tidak membuatnya mendapat siksa dan
hukuman, ataupun larangan terhadap ijtihad yang telah dilakukannnya meskipun
itu salah.
Dapat kita katakan bahwa kesalahan disini pada persoalan yang
berkaitan dengan agama dan ajarannya, syariat dan hukumnya hak-hak Allah dan
hamba-Nya. Bahkan bisa mengarah pada pertumpahan darah, pembunuhan, dan
perampasan harta secara tidak benar. Akan tetapi kesalahan ijtihad tersebut
tetap mendapatkan pahala, dan pasti ia mendapat pahala meskipun salah. Ini
adalah bukti akan kuatnya dorongan untuk berfikir, meneliti, dan menunjukan
ilmu pengetahuan. Bagaimana tidak akan maju jika para ilmuan, pemikir,
mujtahid, dan peneliti memiliki kondisi yang tenang, menyenangkan, dan tidaka
ada perasaan cemas dan takut. Dasar diperbolehkannya berijtihad terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa
ayat 105
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î)
|=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9
tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$#
!$oÿÏ3
y71ur& ª!$#
4 wur
`ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9
$VJÅÁyz
ÇÊÉÎÈ
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Perlu diperhatikan bahwa para Nabi juga berijtihad, dan ijtihad
mereka terkadang salah. Beberapa pakar
yurisprudensi Islam(usuliyyin)
mempermasalahkan adanya ijtihad yang dilakukan Nabi Muhammad. Karena ia adalah
pembawa wahyu, bagaimana mungkin ia diperbolehkan untuk berijtihad
mengubah suatu yang buruk menjadi yang baik dan melakukan ijtihad spekulatif (al-zan), padahal segala yang berasal
dari Nabi adalah keyakinan. (al-yakin) dari sini beberapa usuliyyin menolak adanya ijtihad pada
diri Nabi Muhammad.
Perbuatan Nabi Muhammad adalah untuk diteladani. Ia mengawini janda
bekas anak asuhnya adalah untuk diteladani dan untuk meringankan beban
kehidupan mereka, ataupun menghilangkan hambatan-hambatan psikologis dalam
system adopsi yang berlaku saat itu. Begitu pula beliau berijtihad untuk
dijadikan sunah dan teladan dan terkadang terjadi kesalahan dalam ijtihadnya
untuk menjadi pelajaran dan sunnah. Karena jika Nabi tidak berijtihad, maka
siapa yang akan menjadi contoh dan panutan kita dalam memutuskan hukum dan qiyas (analogi)? Siapa pula yang akan menjadi
pelopor kita dalam menginterprestasikan Al-Qur’an dan memahami petunjuknya yang tersirat, dan
itu sangat membutukan penalaran dan ijtihad?
Sedangkan kesalahan ijtihad yang dilakukan Nabi, kesalahan tersebut
tidak termasuk dari jenis kesalahan menurut para mujtahid dan bukan pula
sebagai unsur kesalahan, dijelaskan dalam Al-Qur’an dan banyak contohnya, hal
ini sebagi dorongan dan penyejuk jiwa bagi penerus mereka dari kalangan ulama.
Merujuk dan menyadarkan pada Al-Qur’an atas beberapa kesalahan ijtihad yang
dilakukan para nabi adalah lebih baik daripada menolaknya dan
menginterprestasikan denga hal lain. Kondisi ini sama sekali tidak mengurangi
derajat mereka, serta tidak menodai kemaksuman
(suci dari dosa) para nabi. Pemaksuman para Nabi yang pertama dan utama adalah
dalam dakwah mereka, dan kemudian maksum dari perbuatan maksiat kepada Allah.
Sedangkan kesalahn ijtihad yang berasal dari ahlinya, bukan dianggap sebagai
kesalahan, aib, dan kekurangan.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa Rasulullah
sangat menganjurkan ijtihad seperti apa yang ia lakukan dan contohkan,
sebagaimana mendorong ijtihad dengan sabdanya. Terkadang wahyu datang terlambat
atau terlalu singkat dan bersifat umum, hal ini memaksa Nabi untuk berijtihad,
dan para sahabat ikut serta dalam proses ijtihad ini dengan bimbingan Nabi.
Sedangkan pendapat Usuliyyin mengatakan bahwa
Rasulullah berijtihad dan tidak pernah salah ijtihadnya, adalah pandangan yang
tidak mengerti akan perbedaan antara wahyu dan ijtihad. Karena ijtihad yang
maksum pada hakekatnya adalah istilah lain dari wahyu, maka bukan dikatakan
ijtihad jika terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
Oleh karena itu ijtihad pasti akan mengalami kesalahan,
bagaimana pun bentuk dan coraknya. Perbedaan Nabi dan selainnya adalah jika
ijtihad Nabi mengalami kesalahan, maka langsung ditegur dan dijelaskan melalui
wahyu Allah. Sedangkan kesalahan ijtihad bagi para mujtahid menjadi tugas
mujtahid itu sendiri untuk mengkritisi dan menyempurnakannya, serta menjadi
tanggung jawab orang-orang yang sezaman dengannya, atau siapapun yang hidup
sesudahnya. Dengan demikian kesalahan tersebut diketahui banyak orang dan
diperbincangkan, sebelum diluruskan atau malah ditinggalkan. Semuanya bersifat
spekulatif antara diterima atau ditolak, dan sesungguhnya Allah Maha Berkendak.[4]
C. Daya Ikat Norma
Hukum Hasil Ijtihad
Norma hukum hasil ijtihad, baik dipublikasikan
atau tidak dapat dihubungkan dengan umat Islam secara umum, orang yang
mengajukan pertanyaan dan bagi diri mujtahid itu sendiri.
a. Bagi Umat Islam
Norma hukum hasil ijtihad yang dilakukan
seorang mujtahid tidak mengikat kepada orang lain (umat Islam) pada umumnya.
Karena hasil ini bisa menjadi kajian mujtahid lain dan hasilnya bisa jadi
berbeda, karena perbedaan kemampuan, lingkungan ataupun pola pikir dari
mujtahid tersebut. Ditemukannya norma hukum atas sebuah peristiwa oleh seorang
mujtahid tidak menghalangi orang lain mengadakan penelitian serupa, baik dalam
lingkungan yang sama ataupun berbeda. Di samping bahwa hasil ijtihad itu
berdasar pada dugaan kuat (dhann) bukan atas dasar dalil yang pasti
dalalahnya (qathi’ al dalalah).
b. Orang yang bertanya
Bagi orang awam, hasil ijtihad seorang
mujtahid merupakan sumber dan dalil dalam proses melaksanakan ajaran Islam yang
mereka peluk. Karena bertanya kepada orang yang diangggap menguasai masalah,
mengamalkan hasil ijtihad bagi orang awam merupakan sebuah kewajiban, atau mengikat.
Pada ayat Al-Qur’an yang mendukung pernyataan
di atas :
فَسْئَلُو أَهْلَ الذِّ
كْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah
kepada ahl al-dzikr jika kamu tidak mengerti.
Ahl al-dzikr pada ayat tersebut
diatas dalam masalah agama diartikan sebagai seorang mujtahid. Jawaban seorang
mujtahid atau mufti atas pertanyaan yang diajukan sudah barang tentu menjadi
rujukan bagi si penanya, sehingga ia secara instan dapat mengamalkan norma
tersebut tanpa harus mengetahui bagaimana norma hukum itu diperoleh. Artinya
norma hukum sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan menjadi mengikat bagi
si penanya itu, meskipun dalam proses berikutnya saat ia akan melakukan suatu
perbuatan hukum yang sama pada saat yang berbeda, ia boleh saja mengikuti fatwa
ulama lain, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa sahabat tanpa harus minta
ijin meninggalkan pendapat yang pada awal diikutinya.
c.
Diri Mujtahid
Hasil ijtihad bagi
mujtahid itu sendiri mempunyai daya ikat yang kuat. Artinya dia dituntut
melakukan norma yang ditemukan lewat ijtihad yang dilakukannnya, selama belum
ditemukan norma baru dalam penelitian / ijtihad berikutnya. Dalam hal ini ia
tidak boleh mujtahid lain yang justru pandangannya berbeda dengannya. Hal ini
berdasar bahwa seorang mujtahid itu tidak diperbolehkan bertaqlid. Kesamaan
hasil ijtihad merupakan hal yang biasa, namun hal ini tidak ada unsur
kesengajaan.
d.
Pembatalan Ijtihad
Sebagaimana telah diuraiakan
di atas bahwa hasil ijtihad hanya dapat mengikat bagi diri mujtahid itu dan
orang yang bertanya kepadanya. Pengikatan ini berlaku selama sang mujtahid
tidak menarik pandangannnya. Hal ini sesuai dengan sifat hasil ijtihad sebagai
pendapat yang berdasar pada dugaan kuat. Oleh karenanya mujtahid itu atau orang
lain dapat mengadakan peninjauan kembali atas hasil ijtihad yang telah
dilakukannnya.
Jika mujtahid itu yang
mengadakan peninjauan dan menemukan serta menetapkan pendapat baru yang
dipandangnya benar, maka pendapat baru inilah yang harus dipegangi. Sebagai
contoh dapat digambarkan jika menurut ijtihadnya yang pertama, seseorang
dianggap sah melakukan pernikahan tanpa wali dan pernikahan itupun dilaksanakan
dan belum mendapat legalitas, kemudian terjadi perubahan ijtihad yang intinya
menyatakan bahwa pernikahan tidak sah manakala dilakukan tanpa wali, maka ia
harus membatalkan ijtihadnya yang pertama dan memutus pernikahan yang dilakukan
dengan tanpa wali yang selanjutnya dinikah dengan memakai wali.
Bagi orang awam yang
mengikuti pendapat hasil ijtihad orang lain, informasi perubahan pandangan
mujtahid ini adakalanya sampai kepadanya atau tidak. Jika informasi itu tidak
sampai kepadanya, maka si muqallid (orang yang taqlid) tetap boleh
menggunakan hasil ijtihad yang pertama. Dan jika perubahan hasil ijtihad itu
diketahuinya saat ia sedang melakukan perbuatan hukum tersebut, maka perbuatan
itu harus segera disesuaikan dengan hasil ijtihad terbaru itu. Oleh karenanya
seseorang yang melakukan shalat dengan menghadap qiblat menurut ijtihad oarang
lain, kemudian orang ini merubah ijtihadnya, maka orang shalat dengan
menggunakan ijtihad orang lain itu harus segera menyusaikan arah qiblatnya itu
saat itu juga, di tengah-tengah melakukan shalat dan tanpa membatalkan apa yang
sudah berjalan. Artinya misalnya shalat Dhuhurnya sudah mendapat dua rakaat,
kemudian ada perubahan arah, maka yang berubah arahnya hanya rakaat shalat yang
belum dilaksanakan, yakni dua rakaat berikutnya.
Demikianlah pengaruh
perubahan hasil ijtihad bagi diri sang mujtahid sendiri dan bagi orang yang
berrtanya kepadanya atau yang meyakini kebenaran ijtihad itu sedang dia adalah
orang biasa (tidak berkuasa). Jika dia (mujtahid) adalah seorang hakim dan ia
mengalami perubahan ijtihad, sehingga ijtihadnya yang pertama dianggap salah,
maka ia tidak boleh membatalkan keputusannya atas dasar ijtihadnya yang
pertama. Hal ini sesungguhnya untuk kepentingan hukum itu sendiri. Sebab kalau
keputusan yang sudah ada dapat dibatalkan atas dasar ijtihad baru, baik ijtihad
hakim itu sendiri atau oleh hakim lain, maka akibatnya adalah kekacauan hukum
itu sendiri. Bahwa yang demikian ini berdasar pada langkah yang pernah dibuat
oleh sahabat Umar bin Khatab RA saat memutus dua perkara yang sama dengan
keputusan yang berbeda tanpa membatalkan keputusannya yang pertama, bahkan
ketika ditanya, beliau menjawab dengan tegas :
على ما قضينا وهذا على
ما نقضيذاك
Yang dulu atas dasar
keputusan yang telah kami pertimbangkan saat itu, sedang yang ini atas dasar
apa yang kami lakukan saat ini.
Contoh perubahan hasil
ijtihad Umar RA yang sering diangkat sebagai contoh adalah dalam kasus
pembagian harta waris. Kasus warisan dimaksud adalah seorang meninggal dunia
meninggalkan seorang suami, seorang ibu 2 orang saudara seibu dan saudara
laki-laki sekandung (seayah dan seibu). Pada kasus tersebut sesuai hasil
ijtihad pertama sahabat Umar memberikan
1/2 , 1/6 bagi ibu, 1/3 bagi saudara seibu dan ashobah bi nafsih bagi
saudar sekandung. Namun ternyata bagian ashobah bagi saudara sekandung kali ini
menjadikan berakibat fatal, karena ia tidak mendapat bagian apa-apa atau nol
besar. Saat itu saudara sekandung menerima keputusan khalifah apa adanya.
Beberapa tahun
kemudian terdapat kasus warisan yang sama. Namun kali ini saudara sekandung
cukup kritis. Ia mempertanyakan kedudukannya sebagai ahli waris yang seharusnya
lebih kuat daripada saudar seibu. Padahal saudara seibu mendapat bagian 1/3
dari seluruh harta waris yang ada, sedang ia sendiri malah tidak menerima
bagian. Argumen ini nampaknya dapat diterima oleh sahabat Umar RA. Oleh
karenannya ia segera mengajukan usul agar dirinya disamakan dengan saudara
seibu sehingga ia ikut mendapat bagian bersama saudara seibu. Usulan ini
langsung dapat diterima oleh Khalifah dengan memberinya nama kasus itu masalah
musytarokah atau masalah musyarokah. Dinamakan seperti ini karena
saudara sekandung ikut mendapat bagian yang diperoleh saudara seibu. Artinya
1/3 dari harta waris itu dibagi bersama antara saudara seibu dan saudara
sekandung dengan sama rata. Agar lebih jelas, di bawah ini pembagian warisan
dua versi itu diurai dengan mengandaikan harta yang dibagi itu sebesar : 1800
real saudi.
VERSI I
AHLI WARIS
|
BAG
|
AM
6
|
PENYELESAIAN
|
Suami
|
½
|
3
|
3/6 X 1.800 real = 900 real
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
1/6 X 1.800 real = 300 real
|
2 Saudara laki-laki seibu
|
1/3
|
2
|
2/6 X 1.800 real = 600 real
|
Saudara sekandung
|
Asb
|
0
|
0
|
VERSI II
AHLI WARIS
|
BAG
|
AM
6
|
PENYELESAIAN
|
Suami
|
½
|
3
|
3/6 X 1.800 real = 900 real
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
1/6 X 1.800 real = 300 real
|
2 Saudara laki-laki seibu
|
1/3
|
2
|
2/6 X 1.800 real = 600 real
(Masing-masing saudara seibu dan sekandung mendapat 200 real)
|
Saudara sekandung
|
Keputusan sahabat Umar
pada kasus pertama yang tidak memberi bagian kepada saudara sekandung karena
harta telah habis dibagi, tidak dibatalkan dengan perubahan ijtihad saat
memutus kasus kedua.[5]
D.
Fase-fase mujtahid di
masa sekarang
Dalam fase, terdapat prinsip,
karakteristik dan kondisinya masing-masing
Fase pertama: yaitu direpresentasikan oleh fase kenabian yang merupakan
masa untuk mengikuti, mencontoh dan patuh terhadap apa yang datang dari nabi
saw .
Fase kedua: masa khulafaur rasydin
dan sahabat-sahabat senior yang menerima sesuatu dari Nabi sebagaimana
yang beliau amanatkan.
Fase ketiga: masa sahabat yunior dan tabi’in senior yang mengambil ilmu
dari para guru mereka yaitu para sahabat.
Fase keempat: masa pengikut tabi’in yang belajar dari para pendahulu
mereka sejak awal abad kedua sampai akhir abad ketiga.
Fase kelima: mulai dari awal abad keempat sampai jatuhnya diansti
Abbasiyah di Baghdad oleh tangan pasukan Tartar tahun 656 H.
Fase keenam: mulai sejak jatuhya dinasti Abbasiyah di Baghdad sampai
waktu kita sekarang ini.
Ungkapan Shekh Muhammad Khudari
dan ungkapan para tokoh fuqoha lainnya bahwa ijtihad dalam hukum syari’at-hukum
yang bisa dimasuki ijtihadmerupakan hal yang populer sejak Rasulullah saw
wafat, sampai pertengahan abad keempat. Kemudian ijtihad setelah itu dilanda kekeruhan sampai akhir
abad ketiga belas. Lalu setelah itu kehidupan kembali normal dengan gerak
kegiatan sampai waktu kita sekarang ini.
Pembagian ini adalah pembagian
secara prakiraan dalam sifat yang umum. Sebab merupakan realita yang jelas
bahwa setiap abad dalam setiap jaman tidak lepas dari adanya para mujtahid yang
memiliki akal unggul dan tekat yang tulus, serta niat yang baik. Mereka
berusaha melepaskan penyimpangan agama dari para pencoleh, upaya jahat para
pelaku kejahatan serta takwil dari para orang yang bodoh.
Imam Abu Dawud,
Hakim dan Baihaki meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya
Rasulullah saw bersabda: “Allah swt dalam setiap seratus tahun mengutus kepada
umat ini orang yang dapat memperbarui agama mereka”.
Menjadi jelas bagi kita bahwa jikalau hukum ijtihad
dalam setiap masa adalah wajib dan keharusan, maka dimasa kita yang modern ini
yang diliputi berbagai kasus dan peristiwa dan urusannya yang bervariasi, maka
ijtihad lebih dibutuhkan lagi dan merupakan hal yang mendesak.[6]
Adapun Mujtahid yang populer pada periode ini
dikenal dengan istilah “Madzahib al-Arba’ah”
a.
Imam Abu Hanifah
b.
Imam Malik bin Anas
c.
Imam Syafi’i
d.
Imam Ahmad bin Hambal
Akibat keemasan
periode IV, maka di saat penghujung periode IV timbullah fatwa bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup. Fatwa ini sebanarnya mempunyai tujuan positif yakni
untuk mencegah orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat berijtihad dan
berani memberikan fatwa-fatwa serta melakukan ijtihad, akhirnya terjadi fatwa
yang simpang siur yang sempat membingungkan umat. Disamping itu juga
argumentasi yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, yakni:
a.
Hukum-hukum Islam dalam bidang
ibadah, muamalah, munakahad, dan giyanat dan sebagainya, sudah lengkap dan
dibukukan secara rinci dan rapi. Karena itu, ijtihad dalam hal ini tidak perlu
lagi.
b.
Mayoritas Ahlus Sunnah hanya
mengikuti madzhab empat karena itu, pengikut madzhab ahlussunnah hendaknya
memilih salah satu dari m,adzhab empat, dan tidak boleh pindah madzhab.
c.
Membuka pintu ijtihad selain hal
itu percuma dan membuang-buang aktu, karena hasil berkisar pada hukum yang
terdiri atas kumpulan pendapat satu madzhab atau lebih, hal semacam ini dikenal
dengan “talfiq”yang diperolehnya masih dipertentangkan oleh ahli ushul. Hukum
yang telah dikeluarkan oleh salah satu madzhab sudah lengkap sehingga
berijtihad hanya merupakan “ tahsil-alhasil” apalagi bila bertentangan dengan
hasil ijtihad itu dianggap menantang ijma’.
d.
Kenyataan sejarah sejakk awal
abad keempat Hijriah sampai kini, tak seorang ulama pun memberanikan diri
sebagai “mujtahid mutlak mustaqil”, karena predikat itu kiranya sulit dimilki
seorang mujtahid masa kini.[7]
E.
Tingkatan-tingkatan mujtahid
Di kalangan ulama’ yang melakukan ijtihad ada
beberapa tingkatan, dan tingkatan ini tergantung pada aktifitas yang dilakukan
mujtahid itu sendiri. Tingkatan-tingakatan dikalangan mujtahid itu sebagai
berikut:
1. Mujtahid Mutlaq Mustaqil
(mujhahid independen)
2. Mujtahid Muntasib (mujtahid
berafiliasi)
3. Mujtahid Fi al-madzhab
4. Mujtahid Murajjih
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Daya Ikat Norma Hukum Hasil Ijtihad
a. Bagi Umat Islam
Norma hukum hasil ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
tidak mengikat kepada orang lain (umat Islam) pada umumnya.
b. Orang yang bertanya
Bagi orang awam, hasil ijtihad seorang mujtahid merupakan
sumber dan dalil dalam proses melaksanakan ajaran Islam yang mereka peluk.
c.
Diri Mujtahid
Hasil ijtihad bagi mujtahid itu
sendiri mempunyai daya ikat yang kuat. Artinya dia dituntut melakukan norma
yang ditemukan lewat ijtihad yang dilakukannnya, selama belum ditemukan norma
baru dalam penelitian / ijtihad berikutnya.
d.
Pembatalan Ijtihad
Sebagaimana telah diuraiakan di
atas bahwa hasil ijtihad hanya dapat mengikat bagi diri mujtahid itu dan orang
yang bertanya kepadanya. Pengikatan ini berlaku selama sang mujtahid tidak
menarik pandangannnya. Hal ini sesuai dengan sifat hasil ijtihad sebagai
pendapat yang berdasar pada dugaan kuat. Oleh karenanya mujtahid itu atau orang
lain dapat mengadakan peninjauan kembali atas hasil ijtihad yang telah
dilakukannnya.
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan dan kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca kami
mengharapkan saran dan kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun akan
diterima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al Raysuni dkk, Ijtihad antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan
sosial, PT Gelora Aksara Prata, Jakarta, 2002
Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Prenada Media,
Jakarta, 2005
Muhammad Sayyid Tantawi, Ijtihad dalam
Teologi Keselarasan, JP BOOKS, Surabaya, 2005
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, PT Al
Maarif, Bandung, 1987
Yasin, Kaidah-kaidah Ushul Fiqh, Idea
Press, Yogjakarta, 2010
[4] Ahmad Al Raysuni dkk, Ijtihad antara Teks,
Realitas dan Kemaslahatan sosial, PT Gelora Aksara Prata, Jakarta, 2002,
hal. 1-3
[6] Muhammad Sayyid Tantawi, Ijtihad dalam Teologi Keselarasan, JP
BOOKS, Surabaya, 2005, hal. 161-162
Comments
Post a Comment